Seperti apa sistem PPDS dalam Academic Health System (AHS)?
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dokter, terutama dokter spesialis di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbud) telah menyetujui adanya Academic Health System (AHS). Namun, seperti apa PPDS dalam Academic Health System itu nanti?
Daftar isi
AHS untuk menjawab kebutuhan dokter spesialis
Dalam Diskusi Srategis Profesi Dokter Indonesia yang diselenggarakan oleh PB IDI minggu lalu, Prof. Dr. Budi Santoso, dr., Sp.OG(K), Ketua AIPKI, menyampaikan beberapa tantangan dalam produksi dokter spesialis. Selain jumlah yang masih kurang, distribusi yang tidak merata terhadap kebutuhan juga menjadi masalah, ditambah lagi kendala untuk membuka prodi spesialis baru yang tidak mudah.
“Masalah produksi dokter spesialis ini bukan hanya masalah kemenkes atau kemendikbudristek, tidak kalah pentingnya adalah tanggungjawab dari pemerintah dalam negeri dan mungkin juga pemerintahan aparatur negara” tegas Prof. Budi yang menyoroti distribusi yang kurang merata.
Menurutnya, kekurangan dokter spesialis adalah suatu hal yang lumrah ditemui di negara maju sekalipun. Namun, di Indonesia, ketimpangan jumlah dokter spesialis jelas terlihat, di mana di DKI Jakarta terjadi penumpukan jumlah dokter spesialisasi. Bali, Sumatera Utara, dan Yogyakarta menjadi wilayah dengan jumlah dokter spesialis yang optimal, sementara provinsi lainnya masih kekurangan spesialis.
Apalagi dengan hilangnya kewajiban Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), membuat pendistribusian lebih sulit. Sebab Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) yang bersifat sukarela ini hanya diminati sekitar 20% lulusan saja.
Untuk itu, AHS tidak hanya berfokus pada penambahan jumlah dokter spesialis semata, tapi juga sekaligus untuk melakukan pemerataan spesialisasi dengan pendekatan wilayah yang diusung dalam AHS.
Sistem Wilayah dalam AHS
AHS sendiri merupakan suatu sistem yang mengintegrasikan pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan menyatukan sistem university-based dengan hospital-based residency. Selain membantu percepatan pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis, program ini juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan wilayah, sehingga muncul pendekatan wilayah dalam AHS.
Dalam implementasi AHS dengan pendekatan wilayah, nantinya akan ada 6 wilayah AHS di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan-Jawa Barat, Jakarta-Papua, Jawa Tengah-Kalimantan, Jawa Timur-Bali-NTT, dan Sulawesi-Maluku.
Untuk upaya pemenuhan kebutuhan, Fakultas Kedokteran (FK) akan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan RS Pendidikan di wilayah tersebut untuk melihat kebutuhan dokter dengan melihat apakah semua puskesmas sudah memiliki dokter dan 9 jenis nakes sesuai standar, apakah RS memiliki dokter spesialis sesuai standar dan apakah ratio dokter dan penduduk sudah memenuhi standar.
Nantinya, dokter lulusan fakultas kedokteran (FK) dalam wilayah tersebut bisa melanjutkan PPDS di FK atau RS di wilayah tersebut untuk kemudian kembali bekerja di wilayah tersebut setelah masa pendidikan mereka berakhir sesuai dengan angka kebutuhan wilayahnya dan direkrut secara permanen oleh Pemda.
Menurut Prof Budi, jika sistem wilayah AHS ini didukung dengan baik oleh Kemenkes, Kemendikbudristek, Pemerintahan dalam negeri, maka permasalahan jumlah dokter hingga pendistribusian akan lebih mudah diselesaikan.
Seperti Apa PPDS dalam Academic Health System itu sendiri?
Dalam menyelenggarakan AHS, Kemenkes dan Kemendikbud akan tetap berpegang pada UU RI No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dimana penyelenggaraan pendidikan kedokteran tetap akan dilakukan oleh perguruan tinggi, yang bekerjasama dengan RS pendidikan dan wahana pendidikan, dengan berkoordinasi dengan organisasi profesi.
Di dalam setiap wilayah AHS, akan ada satu universitas yang menjadi “pembina” dalam wilayah tersebut. Yaitu UI untuk wilayah Jakarta-Papua, USU untuk Sumatera Utara, UNPAD untuk Sumatera Selatan-Jawa Barat, UGM untuk Jawa Tengah-Kalimantan, UNAIR untuk Jawa Timur-Bali-NTT, dan UNHAS untuk Sulawesi-Maluku.
Pada dasarnya, untuk penerimaan peserta didik dan kelulusan akan tetap diselenggarakan di dalam perguruan tinggi. Namun, dalam proses pendidikan PPDS, akan ada beberapa model konsorsium PPDS di satu wilayah AHS.
Model pertama, universitas yang sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan PPDS akan memperluas RS jejaring diluar RS pendidikan utama di mana PPDS nanti akan bekerja. Sehingga jumlah peserta didik yang diterima dapat ditingkatkan.
Model usulan kedua adalah dengan membuka prodi PPDS baru di FK yang sudah terakreditasi A dan sudah memiliki prodi PPDS lain dengan diampu oleh universitas yang sudah berpengalaman, atau universitas “pembina”.
Model usulan ketiga adalah dengan membuka prodi PPDS di FK terakreditasi A yang belum memiliki prodi PPDS lain. Hal ini juga dengan memanfaatkan bantuan dari universitas pembina.
Sementara pada model usulan ke empat, FK dapat bekerjasama dengan instistusi lain seperti TNI-AL atau TNI-AD seperti yang sudah dilakukan oleh UI sebelumnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan, maka peserta didik akan kembali ke universitas pengampu untuk melanjutkan proses thesis dan ujian kelulusan.
Dalam implementasi AHS ini, pemangku kebijakan terkait juga akan melaksanakan mandat UU No. 20 tahun 2013 yang mengatur insentif terhadap peserta PPDS. Sehingga kedepannya PPDS dapat menerima insentif yang layak.
AHS dan Kebutuhan Dosen
Dengan meningkatnya RS penyelenggara pendidikan spesialis, maka kuota penerimaan akan semakin meningkat. Ini juga akan berpengaruh terhadap kebutuhan dosen terutama dosen pendidik klinis di lingkungan RS pendidikan/RS jejaring.
Menurut Prof Budi, dengan meningkatkan rasio Dosen:Mahasiswa menjadi 1:5 dan meningkatkan jumlah dosen 2x lipat, maka percepatan pemenuhan kebutuhan dokter spesialis dapat meningkat 3-4 kali lipat.
Hal ini menjadi sebuah peluang khusus bagi dokter-dokter spesialis yang ingin berkarir sebagai dokter pendidik klinis. Kedepannya, dengan sistem AHS ini akan membuka peluang lebih untuk berkarir di dalam koridor pendidikan
Kesimpulan
Saat ini, AHS belum diimplementasikan sepenuhnya. Masih dibutuhkan dukungan dan komitmen yang lebih dari para stakeholder, termasuk Kemenkes, Kemendikbud, dan juga pemerintah untuk dapat mensukseskan sistem ini.
Kalau sistem ini sudah siap, apakah sejawat siap terjun? Bagaimana menurut sejawat?