Pendidikan Kedokteran: jaman dulu dan sekarang

Semua pasti kenal para pahlawan kemerdekaan yang juga seorang dokter, seperti dr. Soetomo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiganya mengenyam pendidikan kedokteran melalui STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan, di luar profesi mereka sebagai dokter. Memangnya, seperti apa pendidikan kedokteran jaman dulu?

Bekerja sebagai Dokter dan Pahlawan

Baik dr. Soetomo, dr. Wahidin dan dr. Tjipto merupakan “lulusan” STOVIA, meskipun ketiganya berada di sekolah tersebut pada era yang tidak bersamaan.

Setelah lulus dari STOVIA, dr. Wahidin bekerja sebagai dokter yang memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat Jawa kala itu, yang kadangkala tanpa memungut bayaran. Selama bekerja sebagai dokter itulah muncul ide untuk meningkatkan pendidikan masyarakat Jawa kala itu.

Ketika memasuki masa pensiun, dr. Wahidin kemudian melakukan pengumpulan dana untuk mewujudkan idenya meningkatkan pendidikan. Ia kemudian mengunjungi kembali sekolahnya, STOVIA, di mana ia bertemu dengan dr. Soetomo, yang saat itu masih menjadi mahasiswa tingkat awal.

Dari gagasan dr. Wahidin, dan pergerakan dr. Soetomo dan teman-temannya di STOVIA, kemudian berdirilah organisasi pendidikan yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, bernama Boedi Oetomo.

Organisasi ini kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang luas dan mendorong kebangkitan bangsa di berbagai daerah, hingga kelahiran organisasi ini dirayakan sebagai hari kebangkitan nasional.

Organisasi ini kemudian juga menarik minat para tokoh-tokoh lain, termasuk dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang kala itu juga menuntut ilmu di STOVIA, dan terkenal dengan jati dirinya yang lebih condong ke politik.

Baca juga  Biaya Pendidikan Kedokteran: Indonesia vs Negara Maju

Karena gagasan-gagasan dr. Tjipto yang terkesan radikal kala itu, akhirnya dr. Tjipto keluar dari Boedi Oetomo dan mendirikan partai bernama Indische Partij bersama 2 rekannya, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantoro.

Berbeda dengan Boedi Oetomo yang bersifat sosial, ekonomi dan budaya, bersama dengan partainya ini, dr. Tjipto kemudian menggelorakan kebangkitan bangsa melalui jalur politik.

Sementara dr. Tjipto terus berkiprah di ranah politik, dr. Soetomo kemudian digantikan oleh Tirtokoesomo sebagai ketua Boedi Oetomo, kemudian dr. Soetomo melanjutkan dinas kedokterannya selepas lulus dari STOVIA, kemudian melanjutkan pendidikan spesialisnya di Universitas Amsterdam.

Setelah menyelesaikan pendidikan spesialisnya, kemudian dr. Soetomo menjadi pengajar di Nederlandsch Artsen School (NIAS) yang berada di Surabaya (saat ini FK Unair).

Pendidikan keddokteran jaman dulu di STOVIA

Banyak tokoh kebangkitan bangsa lahir dari sekolah kedokteran STOVIA. Memang seperti apa pendidikan kedokteran jaman dulu?

STOVIA atau School tot Opleiding van Indische Artsen merupakan sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia ketika pendudukan Hindia Belanda. Sekolah ini didirikan untuk menghadapi berbagai macam penyakit dan wabah di wilayah Belanda kala itu dengan mendayagunakan para pribumi.

Awalnya sekolah ini merupakan sebuah kursus juru kesehatan, yang kemudian mengalami peningkatan kualitas dan perbaikan kurikulum hingga menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen atau sekolah pendidikan ahli ilmu kedokteran pribumi, sebelum akhirnya berubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen pada tahun 1913.

Kata Inlandsche yang bermakna pribumi diubah menjadi Indische (Hinda) sehingga sekolah ini akhirnya terbuka tidak hanya untuk pribumi saja.

Masa pendidikan kedokteran pada jaman dahulu

Berbeda dengan jaman sekarang, ketika pertama didirikan, pendidikan di STOVIA ini hanya memakan waktu pendidikan satu tahun saja. Namun setelah itu, diperpanjang menjadi dua tahun dengan peningkatan kurikulum.

Baca juga  Pendidikan Kualitas Internasional melalui Program Summer Course

Untuk menentukan kelulusan, para siswa akan menjalani ujian sebelum kemudian lulus dan mendapat gelar Dokter Jawa.

Beberapa tahun setelahnya, pada tahun 1864, masa studi pendidikan kedokteran ini kemudian diperpanjang menjadi 5-6 tahun, mirip dengan masa pendidikan jaman sekarang. Namun, bahasa pengantar yang digunakan tidak hanya dengan bahasa Melayu, tapi juga bahasa Belanda.

Bagi para siswa yang tidak bisa berbahasa Belanda, maka harus menjalani pendidikan bahasa Belanda selama 2-3 tahun, baru memulai pendidikan dokter mereka. Durasi yang cukup panjang, bukan?

Setelah lulus dari pendidikan dokter di STOVIA, maka para dokter harus menjalani ikatan dinas selama sepuluh tahun kepada pemerintah Hindia-Belanda, seperti yang dijalani oleh dr. Wahidin dan dr. Soetomo. Jika melanggar ikatan dinas ini, maka akan dikenakan denda sebesar 5000 gulden (setara 40 juta rupiah).

Pendidikan kedokteran jaman dulu vs jaman sekarang

Jika menilik lamanya pendidikan, sepertinya tidak berbeda jauh antara pendidikan kedokteran di masa STOVIA hingga di masa sekarang. Hal ini menegaskan jika pendidikan kedokteran memang rumit, dan untuk dapat menguasai dengan baik, memang dibutuhkan waktu yang lama.

Sama dengan di jaman STOVIA, hanya orang-orang terpilih dengan kualitas terbaik lah yang bisa mengenyam pendidikan dokter. Sehingga, dari orang-orang terpilih dengan kualitas terbaik itulah kemudian muncul gerakan-gerakan kebangkitan bangsa.

Meskipun pendidikan kedokteran tergolong sibuk dan berat, namun kenyataannya para dokter yang merupakan pahlawan nasional ini masih memiliki empati dan kepedulian yang besar serta waktu yang dimanfaatkan untuk kebangkitan bangsa.

Hal ini menunjukkan bahwa betapa meskipun pendidikan kedokteran itu berat dan menyibukkan, sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk para dokter modern Indonesia berkecimpung dalam bidang politik, dalam organisasi, dan dalam kegiatan lain yang dapat mendorong kemajuan bangsa, seperti halnya para pahlawan ini.

Baca juga  Pembukaan Fakultas Kedokteran Baru di Indonesia: Apa Keunggulannya?

Apalagi orang-orang yang dapat menempuh pendidikan kedokteran adalah orang-orang yang terpilih, yang memiliki kemampuan berpikir lebih tinggi dibanding rata-rata.

Hanya saja, saat ini, masalah kesejahteraan dokter menjadi momok yang menyebabkan mayoritas dokter lebih berfokus terhadap pemenuhan kesejahteraan tersebut.

Selain itu, sama halnya dengan beberapa program kedinasan seperti internship dan PGDS, di jaman Hindia-Belanda, dokter-dokter Jawa juga diwajibkan untuk menjalani ikatan dinas dengan pemerintah Hindia-Belanda selama paling tidak 10 tahun. Hal ini tentu untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan.

Namun kedinasan ternyata justru memunculkan gagasan bagi dr. Wahidin untuk meningkatkan dan meratakan pendidikan bagi orang Jawa, dan akhirnya menjadi sebuah gerakan untuk memajukan pendidikan bangsa.

Meskipun saat ini dokter Indonesia masih memiliki banyak cobaan termasuk dalam hal kesejahteraan, semoga kelak kedepannya masalah kesejahteraan ini bisa terpecahkan, sehingga para dokter Indonesia bisa kembali berkiprah tidak hanya di ranah kesehatan saja, tapi juga di ranah lain yang turut mendukung perkembangan dan kemajuan bangsa.

Selamat memperingati hari pahlawan, karena dokter adalah pahlawan kita juga.

Sumber:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/04/150000479/stovia-sekolah-dokter-zaman-hindia-belanda?page=all
https://www.halodoc.com/artikel/5-pahlawan-kemerdekaan-indonesia-yang-juga-seorang-dokter
Wikipedia

Leave a Reply