Ibu yang sekolah lagi: Sebuah perjuangan wanita modern
Menjadi seorang ibu adalah sebuah tanggungjawab dan pekerjaan yang luar biasa berat. Tetapi menjadi seorang ibu juga tidak membatasi pencapaian seorang wanita. Bahkan menjadi ibu yang sekolah di perantauan sekalipun tidaklah mustahil.
Daftar isi
Menjadi dokter, seorang ibu, dan seorang mahasiswa
Itulah pilihan yang diambil oleh dr. Ratoe Suraya, seorang mahasiswa PhD di Divisi Respiratory Medicine, Internal Medicine, Kobe University, Jepang yang juga ibu dari seorang putra. Dokter muda ini awalnya bercita-cita mengambil studi bidang emergency medicine di Korea Selatan.
Namun, akhirnya ia memilih untuk menikah dan mengikuti sang suami yang mendapat tawaran melanjutkan studi di Jepang, “Prinsip saya, dimana suami ada, disitu istri ada. Jadi saya ikut suami ke Jepang” ujarnya.
Diakuinya, menjadi seorang istri di negara perantauan tidaklah mudah, “karena awalnya di Jepang ngga ada kegiatan dan ngga bisa praktek juga, jadi rasanya kesepian sekali, dengan kegiatan yang repetitif, jadi timbul rasa tidak berguna dan jadi sangat depresif,” cerita dokter yang sebelumnya terbiasa bekerja dengan jam kerja tinggi di IGD, “atas saran suami, akhirnya saya daftar menjadi research student” tambahnya. Walaupun rencana itu pun terpaksa ditunda lantaran dr. Ratoe ternyata hamil.
Hamil di perantauan
Kesempatan menjadi mahasiswa yang tertunda artinya kesempatan mendapat beasiswa pun menghilang. Ditengah kehamilan, dr. Ratoe juga harus memikirkan kondisi keuangan keluarga yang ‘pas-pasan’ kala itu, “karena sumber pemasukan hanya dari beasiswa suami, tabungan juga terpakai untuk persiapan ke Jepang, jadi akhirnya saya kerja part-time di Jepang,” jelasnya. Setelah berdiskusi dengan suami akhirnya dr. Ratoe memutuskan untuk bekerja.
Bekerja di Jepang dalam keadaan hamil ternyata sebuah tantangan yang besar bagi dr. Ratoe. “Work ethic-nya sangat keras, selama kerja tidak boleh duduk, menguap, berdiri satu kaki, tangan harus selalu di belakang, dan sebagainya,” dr. Ratoe bercerita, “Tapi semua disyukuri aja karena gajinya juga lumayan”. Beruntung teman-teman di tempat kerjanya cukup pengertian terhadap kondisi kehamilannya, sehingga masa-masa bekerja tersebut dapat dilewatinya.
Namun, perjuangan menjadi ibu tidak berhenti sampai di situ. Kondisi kehamilan yang ternyata sunsang mengharuskan dr. Ratoe untuk menjalani operasi caesar di Jepang. Terlebih lagi kondisinya yang merantau, sehingga seolah-olah menjalani persalinan “sendiri”.
Beruntung sistem kesehatan di Jepang sangat baik sehingga dr. Ratoe dan keluarga dapat memperoleh pelayanan yang baik dan juga keringanan biaya dalam proses kelahiran sang bayi yang diberi nama Haruki.
Kehidupan sekolah dan menjadi ibu
“Menjadi mahasiswa dan menjadi seorang ibu itu seperti dua kutub yang berbeda,” begitu dr. Ratoe menjelaskan kehidupannya sebagai mahasiswa seusai melahirkan sang buah hati. Di satu sisi dirinya ingin membesarkan sang buah hati dengan tangannya sendiri.
Namun di sisi lain, sebagai wanita dr. Ratoe ingin berkembang dan menjadi wanita yang berdikari melalui pendidikan yang tinggi, “karena jika nantinya terjadi sesuatu, wanita harus bisa mandiri” jelasnya.
3 bulan pertamanya memulai kegiatan sebagai mahasiswa adalah yang terberat. “Selalu ada rasa sedih dan bersalah ketika tidak bisa bersamain anak. Apalagi kalau menemukan ada milestone yang ternyata belum tercapai, rasanya bersalah sekali,” dr. Ratoe berkata.
Meskipun di Jepang memiliki fasilitas daycare yang baik untuk anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja, namun sebagai ibu, rasa bersalah itu tetap ada.
Tantangan sebagai ibu yang sekolah lagi
“Banyak banget tantangannya,” dr. Ratoe bercerita, “dari segi akademik banyak kerjaan di lab, deadline, apalagi sebagai ibu, waktu kita bekerja di lab sangat terbatas karena harus menjemput dan mengurus anak juga”.
Dari segi pendidikan anak pun juga banyak tantangannya, “setiap hari pasti kepikiran, hari ini diberi stimulus apa ya?” ungkap dr. Ratoe. Meskipun dirinya percaya dengan sistem hoikuen atau daycare di Jepang yang lebih banyak memberi stimulus ketimbang mengejar intelijensi, namun rasa kekhawatiran terus ada, “apalagi kalau kita sadar anak perkembangannya kurang, jadi selalu kepikiran, apakah ini karena ibunya sekolah?” ujarnya.
Selain itu, time management diakuinya menjadi tantangan utama sebagai ibu yang sekolah lagi. Selain tugas akademik, perkembangan anak, seorang student mom juga harus memikirkan kebutuhan gizi anak, “apalagi dulu Haruki sempat anemia defisiensi besi juga. Jadi tiap hari harus memikirkan makanan kaya gizi yang mudah disiapkan ditengah kesibukan” jelas dr. Ratoe.
Untuk menyiasati masalah gizi, dr. Ratoe menekankan pentingnya meal preparation. Ia membuat jadwal masakan atau makanan untuk 1 minggu kedepan. “Jadi beli bahannya sekali waktu. Di dapur, bumbu makan disiapin misalnya bumbu putih, merah, kupas bawang-bawang, jadi pas masak tinggal di osreng aja,” tukas dr. Ratoe.
Menurutnya, dengan mempersiapkan bahan masakan ke dalam kotak atau pack sesuai resep akan sangat menghemat waktu, “jadi sewaktu-waktu tinggal keluarin dan masak. Cepet dan ngga perlu capek mikir makan apa,” ujarnya.
Yang tidak kalah penting juga aspek psikologi baik pada anak maupun ibu. “Sebagai ibu saya selalu mengatur waktu agar bisa membersamai anak di waktu yang singkat. Karena sebagai ibu saya berusaha menjadi temen buat si anak juga, supaya anak tidak merasa kehilangan. Ibu harus bisa menjadi tempat untuk pulang bagi anak,” ungkap dr. Ratoe.
Pun bagi seorang ibu, menjaga diri untuk tetap sabar dalam menghadapi dan mendidik anak balita juga merupakan kualitas yang penting. Apalagi dengan kondisi sebagai mahasiswa PhD yang memiliki banyak tugas dan kewajiban yang terkadang terbawa sampai ke rumah.
Pengalaman berkesan?
Bagi dr. Ratoe, pengalamannya menjadi seorang PhD Mom adalah suatu pengalaman yang berkesan dalam hidupnya. Meskipun berat, pengalaman ini mengajarkannya banyak hal, termasuk rasa syukur yang dalam.
“Bersyukur banget karena saya dapat supervisor yang baik, mau mengerti dengan kondisi dan keterbatasan saya, dan juga sabar,” dr. Ratoe melanjutkan, “meskipun secara overall lingkungan kerja di Jepang cukup individualis, lebih banyak diam, mungkin dengan language barrier juga, tetapi saya bersyukur”.
Untuk para Ibu yang sekolah lagi….
Pengalaman menjadi mahasiswa dan menjadi ibu adalah suatu pengalaman yang personal dan bisa berbeda untuk tiap ibu. Namun secara pribadi, dr. Ratoe percaya bahwa melanjutkan pendidikan tinggi bagi seorang ibu bukan hanya soal pencapaian pribadi, tapi juga ada masa depan dan masa depan anak disitu.
“Memilih menjadi ibu yang sekolah sambil mengasuh anak, itu artinya kita harus kerja ekstra untuk mengganti waktu yang hilang dengan anak. Jadi kita harus siap mengesampingkan hal-hal yang lain” dr. Ratoe berpendapat.
Dr. Ratoe juga berpesan agar para ibu selalu berdoa agar diberi kelancaran dalam studi, belajar manajemen waktu dan manajemen emosi. Selain itu dr. Ratoe juga berpesan untuk tetap selalu ada untuk anak, bagaimanapun kondisinya.
Kepada diri sendiri, dr. Ratoe juga berpesan untuk tidak usah menjadi pribadi yang terlalu perfect, “terutama dalam hal rumah tangga, kerjasamalah dengan suami, yang penting tugas kelar, dan kebersamaannya ada”.
Terakhir, dr. Ratoe juga menekankan untuk senantiasa bersabar, “termasuk untuk mengingatkan diri sendiri bahwa kita ngga selalu bisa dapat apa yang kita inginkan”.
Buat para ibu di luar sana, jangan menyerah dalam menggapai pendidikan tinggi, mau itu S2, S3, maupun PPDS. Ibu pasti bisa!
Selamat hari Kartini!