Berpindah haluan: itu wajar! Karena manusia berproses
A: Eh lama ngga ketemu! Gimana kabarnya? Lagi sibuk apa nih?
B: Kabar baik. Iya nih sekarang gue lagi ambil PPDS PA.
A: Lho? Sekarang di PA? Bukannya dulu pingin masuk Pediatri ya? Udah sempet magang juga kan di sana?
B: Iya, tapi setelah magang ternyata gue ngerasa ngga cocok. Lah, lo dulu juga getol banget pengen jadi dokter bedah, kenapa sekarang malah kerja jadi manajer RS?
A: Hahaha iya ya
Kalau sudah 6 tahun, 10 tahun, 15 tahun berpisah sama temen-temen seangkatan, pasti familiar sama pembicaraan semacam ini waktu reuni. Kenapa? Karena memang kerap terjadi.
Setelah lulus internship, semua orang akan punya journey-nya masing-masing. Ada yang mungkin akan gagal berulangkali dan menemukan kecocokan di tempat lain, ada yang bertemu dengan passion yang lain, ada yang malah dapat peluang ke luar negeri dan berkiprah disana, dan sebagai macamnya. Itu wajar. Karena semua orang berproses.
Proses kita nanti akan lain dengan teman-teman kita. Proses kita juga akan berbeda dengan kita yang dulu. Setelah lulus, nanti akan ada banyak hal baru yang muncul yang mungkin tidak pernah kita fikirkan sewaktu mengenyam pendidikan dokter, misalnya menikah, berkeluarga, kehilangan anggota keluarga, mengalami sakit, mengalami musibah, yang bisa jadi memaksa kita untuk mengalah dari cita-cita yang dulu, dan memilih jalur karir yang lain.
Yang paling penting adalah memiliki visi yang jelas, menetapkan prioritas dalam hidup kita, dan jangan pernah menutup pintu untuk kesempatan yang lain. Jika memang kita ingin menjadi spesialis, pendidikan menjadi prioritas paling utama, dan kesempatan itu ada, maka jalanilah apa yang memang menjadi impian kita.
Tapi, kalau kita ingin jadi spesialis, tapi kita memiliki prioritas yang lain seperti keluarga, atau keuangan, maka tidak ada salahnya untuk pivot dan membuka diri untuk kesempatan yang lain.
“Menyerah” dari impian kita menjadi spesialis, menjadi dokter sukses, atau menjadi guru besar karena prioritas dan kesempatan yang lain, itu bukanlah sebuah kekalahan. Itu adalah proses berkembang. Karena semakin dewasa, kita juga dituntut untuk realistis terhadap pilihan hidup kita, tidak melulu se-idealis ketika menjadi mahasiswa.
Kalau sekarang kita berada pada titik yang “membingungkan”, tidak tahu mau realistis atau idealis, jangan takut. Jalani saja kesempatan yang ada. Dari situ akan membuka kesempatan-kesempatan lain. Tentu berpegang pada idealisme itu bagus, tetapi bersikap terbuka dan realistis juga tidak salah.
Bagaimana dengan teman-teman?