The Life After PPDS: Sarapan Bareng dokter Sp.JP (Episode 1)
Pernah membayangkan ngga sih, what is the life after PPDS? Seperti apa kehidupan seorang dokter spesialis muda pasca menjalani pendidikan PPDS yang terkenal berat itu?
Minggu, 21 Agustus 2022 kemarin, dr. Muflihatul Baroroh R, Sp.JP, FIHA, seorang dokter spesialis muda yang membagikan pengalamannya. Kenyataannya, ternyata kehidupan spesialis tidak langsung “seindah itu”. Bagaimana alkisahnya?
Daftar isi
Mengapa memilih spesialisasi jantung?
Dokter yang akrab disapa dr. Lita ini mengaku pengalamannya selama menjadi mahasiswa preklinik dan pengalamannya menghadapi kegawatan jantung sewaktu bekerja sebagai dokter internship membuatnya semakin tertarik. Apalagi tren penyakit jantung yang akan semakin meningkat nantinya. Inilah yang kemudian mendorong dr. Lita memutuskan untuk menjadi dokter spesialis jantung setelah dirinya menyelesaikan internship.
Seperti apa persiapan pendaftaran PPDS Jantung?
Yang terpenting adalah memantapkan diri dan menentukkan center tujuan PPDS. “Saya mulai persiapannya sejak internship,” tambah dr. Lita.
Setelah itu dr. Lita mengaku banyak berkomunikasi dengan senior yang ada di center tujuannya. Sebab, jenis tes penerimaan bisa berbeda tiap center, dimana di center tujuannya saat itu tidak hanya menggunakan tes teori dan tes wawancara saja, tapi juga diikuti tes journal reading dan critical appraisal.
Selain itu, dengan bertanya ke senior, kita dapat mengetahui buku pegangan yang penting untuk dibaca, “ada yang dari Lily, ada yang dari Braundwald, jadi beda-beda tiap center nanti mengambil soalnya dari mana,” ujarnya.
Menurut pengalamannya, ia mulai membaca buku Lily sewaktu internship dan mengulang hingga 2-3 kali. Dirinya mengaku juga belajar lebih lanjut terkait journal reading dan critical appraisal yang menurutnya kurang didapat selama masa S1.
Untuk memperkuat keilmuan, dr. Lita juga sangat mendorong untuk mengikuti ACLS dan kursus EKG, sebab menurutnya akan membuat kita lebih percaya diri tidak hanya ketika mengerjakan tes masuk, tapi juga ketika PPDS.
Tes wawancara: Motivasi, Pengalaman Kerja, Faktor Pribadi, Pendanaan, dan Tempat Kembali
Menurut dr. Lita, beberapa pertanyaan yang sering menjadi pertanyaan wawancara adalah motivasi, termasuk alasan kuat kenapa mendaftar di prodi tersebut dan center tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa memiliki pengalaman kerja akan sangat dipertimbangkan, baik pada center yang mewajibkan 1 tahun pengalaman kerja post internship, maupun yang tidak mempersyaratkan, “semakin banyak pengalaman kerja akan semakin menjadi pertimbangan buat penguji,” ujarnya.
Pertanyaan pribadi seperti keluarga dan dukungan keluarga juga menjadi pertanyaan wajib. Sama halnya tentang sumber pendanaan, pertanyaan mendetil terkait pendanaan, terutama pendanaan mandiri juga menjadi pertanyaan wajib.
Yang terbaru, menurutnya adalah adanya nilai tambahan lebih untuk mereka yang sudah punya tempat kembali setelah masa studi. Terutama bagi mereka yang nantinya akan kembali ke daerah akan menjadi prioritas.
Beberapa tips yang menurut dr. Lita penting sewaktu tes wawancara adalah berbicara dengan penuh percaya diri dan meyakinkan. Kalau perlu, lakukan latihan menjawab tes wawancara.
Satu hal lagi yang mungkin ditanyakan adalah riwayat pendaftaran sebelumnya, namun menurut dr. Lita, hal itu tidak berpengaruh buruk selama tidak ada riwayat yang buruk.
The Life After PPDS: Dimulai dari Ujian Exit Exam, seperti apa?
Ujian kelulusan PPDS saat ini memiliki 2 jenis, ujian tulis dan ujian oral. Namun kini, ujian oral juga dilengkapi dengan ujian praktek/OSCE, sementara ujian tulis dilakukan dengan Computer Based Test (CBT).
Sebelum dinyatakan lulus, seorang PPDS harus menyelesaikan ujian tersebut.
The Life After PPDS: Bagaimana mencari kerja pasca PPDS?
Mencari kerja pasca PPDS bagi PPDS mandiri yang belum memiliki tempat kembali merupakan sebuah tantangan tersendiri.
Menurut dr Lita, ada beberapa cara untuk mendapatkan tempat kerja, termasuk mendapat tawaran dari konsulen center PPDS kita. Untuk itu, dr. Lita menekankan pentingnya menjaga attitude dan performa dalam mendalami keilmuan, sebab itu dapat menjadi pintu masuk tawaran bekerja.
Cara lain adalah dengan menjalin hubungan baik dengan senior yang bekerja di daerah yang kita inginkan. Dengan menjalin hubungan baik tersebut, kita dapat membangun network dan link untuk mendapatkan tawaran kerja dari RS di daerah tersebut, atau bahkan di sekitarnya.
Namun kita juga harus memiliki track record yang baik selama studi, karena ini nanti akan menjadi bahan pertimbangan dalam menerima kita.
Yang pasti, menurut dr. Lita, mencari kerja bagi dokter spesialis sekalipun tidaklah mudah, apalagi dokter tanpa ikatan dinas.
Peluang bekerja: di Daerah atau di Kota?
Secara umum, saat ini kebutuhan dokter spesialis jantung masih tinggi. “Jumlah dokter spesialis jantung di Indonesia sekarang sekitar 1485. Misalnya 100.000 orang diperlukan 1 spesialis, padahal saat ini 1 dokter spesialis jantung melayani 250.000 orang, jadi masih dibutuhkan” dr. Lita menjelaskan.
Namun, jika melihat peluangnya, memang jelas terlihat bahwa peluang bekerja di daerah akan jauh lebih besar dibandingkan di kota. Sebab kebutuhan dokter spesialis, dalam hal ini spesialis jantung, juga masih besar di daerah, bukan di kota. Itulah sebabnya pertanyaan “akan kembali kemana” akan selalu ditanyakan untuk menjaring calon spesialis yang memang akan ke daerah.
Namun, menurut dr. Lita, jika memang seorang dokter spesialis muda memilih bekerja di kota besar, salah satu pintu masuk tawaran bekerja adalah melalui senior. Sehingga penting untuk membina hubungan baik dengan senior tersebut.
Hati-hati: diterima kerja dulu, baru STR! Maksudnya?
Berbeda dengan dokter umum yang mendapatkan STR terlebih dahulu sebelum mencari kerja, untuk spesialis jantung ternyata justru kebalikannya.
Seorang calon dokter spesialis muda diharapkan sudah memiliki tempat bekerja SEBELUM lulus dan menerima STR. “Harus dapet surat rekomendasi dari direktur RS tempat kita akan bekerja, nanti diajukan ke PERKI cabang, baru PERKI cabang mengajukan ke pusat untuk mengeluarkan sertifikat kompetensi kita, baru nanti kita bisa ngurus STR dan SIP” jelas dr. Lita.
Menurutnya, proses ini cukup unik dan kadang sulit diterapkan karena beberapa RS mengharapkan adanya STR dulu sebelum mendaftar ke RS tersebut. “Di sini juga penting menjaga hubungan baik dengan senior di RS tersebut, karena senior tersebut yang akan membantu kita meyakinkan direktur RS untuk mengeluarkan surat tersebut,” dr. Lita bercerita.
Hal inilah yang menjadikan tempat kembali pasca PPDS bagi seorang PPDS Jantung menjadi sesuatu yang penting. Sementara PPDS Mandiri biasanya belum memiliki tempat kembali, sehingga ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi dr. Lita.
Spesialis Muda: Langsung gaji besar, banyak pasien?
“Ngga ya, semua pasti butuh proses, ngga ada yang auto kaya atau banyak pasien,” jawab dr. Lita. Sebagai dokter spesialis muda yang baru, bisa dibilang pasien belum “mengenal”. Apalagi jika di RS yang sudah memiliki beberapa dokter senior lain, umumnya pasien akan “lebih mengenal” dokter yang lebih senior.
Salah satu tantangan bagi dokter spesialis muda yang berbeda adalah ketika kita mendapatkan tawaran pekerjaan di daerah yang belum memiliki spesialisasi tersebut sebelumnya. Sehingga kita harus “mencari” pasien sendiri, hingga melakukan pengadaan alat-alat yang mendukung layanan spesialisasi.
“Selain dapat membantu diagnosis, alat-alat tersebut membuat pasien itu lebih tertarik untuk periksa,” jelas dr. Lita.
The life after PPDS: Selain praktek, dokter spesialis bisa #menjadiapaajanih??
Untuk teman-teman yang ingin menjadi staf pengajar di departemen dan center tempat kita melanjutkan pendidikan, hal ini ternyata memungkinkan terjadi, menurut dr. Lita. Tapi, tawaran ini bergantung dengan kebutuhan staf dan performa kita selama pendidikan. Sebab perekrutan staf umumnya terjadi secara internal.
Jika konsulen melihat performa baik tindakan maupun keilmuan yang akan mendukung departemen tersebut, maka konsulen bisa saja menawarkan posisi sebagai staf kepada PPDS di center tersebut.
Atau, jika kita ingin menjadi staf di center lain, pastikan kita memiliki kenalan di center tersebut yang akan memudahkan kita diterima.
Bagi dokter yang bekerja di RS yang membutuhkan tenaga subspesialisasi, maka dokter spesialis tersebut dapat mendaftar untuk fellow atau untuk ambil subspesialis sesuai dengan kebutuhan layanan subspesialisasi.
“Kalau RS aja belum ada fasilitasnya, kita ngga bisa fellow. Jadi, kita baru bisa fellow sesuai kebutuhan RS, ngga bisa kalo kita pingin sendiri” ujar dr. Lita. Apalagi untuk melanjutkan subspesialis dibutuhkan surat tugas dari RS yang baru bisa diterbitkan setelah 2 tahun bekerja.
Sementara untuk dokter spesialis yang bekerja sebagai staf di RS pendidikan, maka melanjutkan studi ke jenjang S3 merupakan suatu tuntutan berikutnya.
Kesimpulan
The life after PPDS sebenarnya hampir sama dengan dokter umum, dimana kita harus memulai karir lagi dari bawah. Mulai dari mencari pasien, menjalin networking, dan sebagainya.
Untuk dokter klinisi di RS, setelah menjadi spesialis dapat mengajukan studi subspesialis setelah 2 tahun. Sementara untuk dokter spesialis pendidik klinis, biasanya akan dituntut untuk melanjutkan ke S3.
Terakhir, jangan lupa menjaga hubungan baik dengan senior, konsulen, dan juga dengan teman sejawat lainnya, karena peluang kita bekerja bisa jadi datang dari jalinan hubungan yang baik tersebut.