Mengakhiri Budaya Bullying di dalam PPDS
Siapa sih yang tidak ingin suasana pendidikan yang kondusif? Apalagi di jenjang PPDS yang kerap dikatakan penuh dengan bullying di dalam PPDS.
Tidak banyak yang tahu bahwa beberapa prodi di beberapa center telah menetapkan beberapa strategi untuk menanggulangi bullying dalam PPDS. Tapi, tidak selalu “terasa efek”-nya.
Berikut ada 3 poin tidak populer tentang mengakhiri budaya bullying dalam PPDS yang bisa jadi bahan renungan para calon PPDS:
Daftar isi
Mengakhiri Budaya Bullying dalam PPDS adalah Tugas Semua Orang
Memiliki Kepala Program Studi (KPS) yang anti-bullying adalah salah satu langkah menuju lingkungan PPDS bebas bullying. Tapi tidak serta merta suasana kondusif dapat timbul begitu saja.
KPS dapat membuat aturan anti-bullying, namun tidak selalu bisa memonitoring kondisi di lapangan. Untuk itu, peran serta orang-orang di dalam lingkungan PPDS juga diperlukan. Baik itu senior, hingga ke dosen.
Menyamakan Persepsi tentang Apa itu Bullying dalam PPDS
“Sama KPS sudah ngga boleh nyuruh-nyuruh junior. Tapi kalo senior ngga dibantu oleh junior, jadinya senior ngga punya waktu untuk membimbing junior. Padahal tugas senior juga banyak,” ungkap salah seorang PPDS senior di salah satu prodi favorit di pulau Jawa.
Jadi, menyuruh yang seperti apa yang tidak boleh?
Bagaimana jika senior meminta junior menjemput anaknya di sekolah karena senior yang bersangkutan diminta mengajarkan tindakan tertentu pada junior yang lain?
Bagaimana jika senior marah-marah ke junior karena junior lalai menangani pasien dibawah bimbingan senior tersebut?
Bagaimana dengan membelikan makanan senior dan semua tim jaga karena tahun depan dirinya juga akan dibelikan makanan?
Sebelum mulai mengakhiri budaya ini, maka harus disepakati batasan-batasannya. Sehingga apa yang dimaksud “minta tolong” oleh senior, tidak diartikan sebagai “menyuruh” oleh junior. Atau apa yang “disarankan” oleh senior, tidak dipersepsikan sebagai “dipaksa” oleh junior.
Harus Mulai Dari Diri Sendiri
“Kita tidak selalu bisa merubah orang lain, tetapi kita bisa selalu merubah persepsi kita terhadap orang lain”.
Untuk merubah pola pikir semua peserta PPDS menjadi pola pikir anti-senioritas atau anti-bullying akan memakan waktu dan usaha yang tidak instan tentunya. Tapi kita bisa memulai dari diri sendiri dulu.
Mulailah dengan memilih prodi PPDS yang lingkungannya memang sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita. Disinilah gunanya memiliki mentor, sehingga kita bisa mendapat gambaran yang sesuai dengan kondisi riilnya.
Mulailah dengan tidak mudah mempersepsikan sesuatu hal yang tidak kita sukai sebagai bullying. Coba lihat dari sudut pandang yang lain, sehingga kita tidak mudah menjadi dendam dan benci, yang akan memperkuat rantai bullying.
Mulailah untuk memperlakukan teman sejawat, teman seangkatan, teman beda angkatan, bahkan teman bukan sejawat seperti kita ingin diperlakukan. Tidak hanya anti-bullying, bisa jadi kita dimudahkan untuk menjalani PPDS nantinya.
Akhir kata…
Jenjang spesialis melalui PPDS memang bukan jalur untuk semua orang. Ada yang sanggup menjalani, ada juga yang tidak. Menerapkan budaya anti-bullying di lingkungan PPDS tidak serta merta membuat jenjang ini lebih “mudah”.
Karena sejak awal kita sepakat bahwa jenjang spesialis adalah jenjang yang “tidak mudah”, bukan?