Menilik Kasus Bullying di Kedokteran melalui Literatur Ilmiah

Artikel ini disarikan dari penuturan dr. Maulana Antiyan Empitu, MS, Ph.D melalui akun instagram pribadinya @empitu01 menanggapi maraknya kasus bullying di kedokteran.
Setelah ramainya kasus kematian seorang PPDS di prodi Anestesi suatu Universitas negeri, banyak orang mulai kembali membahas kasus perundungan di lingkungan kedokteran. Tidak banyak orang tahu bahwa tindakan semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain di dunia.
Beberapa negara sudah melakukan penelitian terkait tindakan perundungan di ranah kedokteran dan telah menelurkan literatur ilmiah terkait hal ini. Berikut beberapa hal yang menjadi highlight dalam kajian ini.
Bullying di Kedokteran: terjadi di mana-mana
Bahkan di negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS), studi menunjukkan bahwa menurut survey nasional di AS, setidaknya 65% PPDS menjadi korban bullying, yang mana sekitar 48% menjadi target spesifik dari tindak perundungan ini.
Menurut studi yang dilakukan pada tahun 2016 ini, konsultan (attendings), perawat merupakan sumber perundungan yang paling sering diidentifikasi, diikuti oleh pasien, rekan sejawat, dan staf rumah sakit.
Bentuk perundungan yang terjadi antara lain adalah sikap meremehkan dan merusak pekerjaan, kritik dan pemantauan pekerjaan yang tidak adil dan tidak beralasan merupakan perilaku perundungan yang paling sering dilaporkan, diikuti oleh sindiran dan sarkasme yang merusak, serta upaya untuk mempermalukan dihadapan umum.
Pada studi yang sama, dikatakan bahwa perempuan menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan tindak perundungan.





Efek dari Bullying
Pada studi berbeda tahun 2019, disebutkan bahwa tindakan perundungan ini dapat memberi dampak yang signifikan terhadap para korbannya. Dampak tindakan ini mempengaturi performa kinerja dari para korban. Hal ini akan berdampak pada kualitas pelayanan yang menurun, termasuk terhadap pasien.
Hingga efek terparah berupa depresi, pengunduran diri dari program, hingga penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Bullying di Kedokteran: Blindspot dari center pendidikan
Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana center pendidikan menghadapi kasus perundungan seperti yang selama ini banyak dilaporkan. Sebab, menurut studi di AS tahun 2018 lalu, hanya sekitar 31% penyelenggara PPDS yang menyadari bahwa ada perundungan di dalam program mereka, meskipun besarnya prosentase kasus perundungan mencapai 65%.
Berkaca pada kasus yang terjadi di Indonesia, nampaknya tidak sedikit center pendidikan yang memahami adanya perundungan di lingkungan mereka. Sebab, beberapa diantara mereka kemudian mencanangkan program-program seperti “Zero Bullying” dan semacamnya. Namun, pada kenyataanya, kejadian perundungan masih tetap bermunculan.
Hal ini meninggalkan pertanyaan, apakah center pendidikan tersebut benar-benar memahami bahwa telah terjadi perundungan, ataukah sebenarnya center tersebut sadar namun mengacuhkan? Jika memang center pendidikan tersebut sadar betul, seharusnya ada sikap yang diambil yang tercermin dalam proses pendidikan mereka.
Penting bagi center pendidikan, staf, PPDS, stakeholder, dan kementerian terkait untuk memahami hal-hal yang mendasari terjadinya bullying, jika mata rantai perundungan ini benar-benar ingin diputus, bukan hanya sekedar program belaka.