Mengambil Subspesialis/Fellowship di Luar Negeri: Gimana caranya??
Banyak sejawat yang sekarang mulai paham bahwa ngga cuma pendidikan PPDS saja yang bisa dilakukan di luar negeri. Pendidikan Subspesialis pun bisa dilakukan di luar negeri. Tapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kalau mengambil program subspesialisasi atau fellowship di luar negeri.
Kali ini kita akan mendengar pengalaman dr. Kartika Hapsari Tedjokusumo, Sp.OG, FNVOG yang menjalani pendidikan subspesialis dan juga melanjutkan pendidikan S3-nya di Belanda. Seperti apa perjalanan dr. Tika hingga kembali bekerja sebagai seorang konsultan di RS Harapan Kita? Yuk simak!
Daftar isi
Mengapa Memilih Subspesialis/Fellowship di Luar Negeri?
Dokter yang lulus dari pendidikan spesialisasinya di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2012 ini mengaku bahwa awalnya ia mendapat beasiswa dari The Dutch School Foundation untuk pelatihan basic gynecology di Belanda selama 6 bulan, tepat setelah beliau menyelesaikan pendidikan spesialisasinya..
“Dari situlah saya mendapatkan tawaran lagi untuk fellowship atau subspesialis di Belanda dengan beasiswa dari International Cancer Gynecology Society (ICGS)” dr. Kartika menjelaskan. ICGS memiliki program fellowship khusus untuk dokter dari negara berkembang, yang kemudian dimanfaatkan oleh dr. Kartika.
Menurutnya, keputusan untuk mengambil fellowship di Belanda ini tidak mudah, sebab dirinya harus meninggalkan keluarga, meninggalkan karirnya sebagai dokter, selama kurun waktu 3 tahun fellowship, belum lagi dengan ketidakjelasan penyetaraan gelar/ adaptasi pasca fellowship kala itu.
“Butuh waktu 2 tahun untuk saya berpikir, sampai akhirnya memutuskan untuk ke sana,” tambah dr. Kartika. Selain tawaran beasiswa, kesempatan untuk mempelajari ginekologi-onkologi yang merupakan passion-nya, menjadi dorongan terbesar bagi dr. Kartika untuk mengambil fellowship itu.
“Apalagi waktu itu saya diterima menjadi PNS, diminta untuk mengambil subspesialis lain, ngga bisa ginekologi-onkologi,” lanjut dr. Kartika, “Jadi pilihannya adalah mengikuti passion saya atau ambil sub spesialis apa saja yang diminta (oleh instansi)”.
Karena keinginannya yang besar untuk menjadi seorang ginekologi-onkologis, “setelah 2 tahun, saya memutuskan untuk follow my heart, jadi sesuatu apa yang saya suka” tukas dr. Kartika. Keinginan ini pun disambut positif oleh instansi tempatnya bekerja.
Bagaimana cara mendaftar subspesialis di Belanda?
Seperti di negara-negara maju lainnya, mengambil subspesialis atau fellowship di luar negeri sama dengan menjadi PPDS di luar negeri. Di mana pendidikan tersebut sifatnya adalah training, sehingga peserta didik dianggap seperti seorang dokter yang bekerja di RS tersebut.
Pendaftarannya pun dibuka seperti halnya lowongan kerja, misalnya dengan di post melalui LinkedIn. Sehingga dokter yang tertarik bisa langsung mendaftarkan diri seperti orang mencari kerja.
Untuk bisa masuk ke dalam program ini, proses seleksinya dilakukan dengan tes wawancara, “Jadi ngga ada ujian tulis. Mereka dilihat CV-nya, dilihat kemauannya, serius atau tidaknya. Karena mereka direkrut sebagai pegawai” jelas dr. Kartika.
Wawancara yang dilakukan oleh pihak hospital board pun juga lebih mendalami terkait passion pelamar, apa yang dicari oleh pelamar dan proyeksi karir kedepannya, tanpa ujian yang sifatnya knowledge. “Bener-bener kayak melamar kerja,” tambahnya lagi.
Di Belanda sendiri, mayoritas residen biasanya mengambil jenjang S3/PhD terlebih dahulu sebelum mengambil fellowship. Sebab, di Belanda, jenjang S3/PhD ini juga bisa dimanfaatkan untuk “magang” dengan profesor yang akan kita ikuti ketika mendaftar fellowship.
“Dengan begitu kita akan kelihatan benar-benar berminat, dengan publish manuskrip berjilid-jilid. Kemudian kalau nanti prof tersebut membuka lowongan fellowship, kita bisa langsung minta mengisi posisi tersebut” dr. Kartika menyarankan.
Menurutnya, dengan mengambil S3/PhD terlebih dahulu, kita bisa mendapatkan gelar, meningkatkan publikasi, sekaligus mendapatkan rekomendasi dari profesor yang kita incar.
Apakah ada penyetaraan sebelum subspesialisasi?
“Memang betul, ada penyetaraan. Pada waktu saya mengikuti pelatihan basic gynecology pada tahun 2012 itu sebenarnya semacam penyetaraan untuk basic gynecology. Kemudian saat saya datang tahun 2015 (untuk fellowship), saya penyetaraan lagi untuk advance surgery selama 6 bulan, baru setelah itu kita mengikuti program fellowship” jelas dr. Kartika.
Menurutnya, proses penyetaraan yang ia jalani di Belanda sebelum fellowship ini semacam program adaptasi di Indonesia. “Karena ternyata beda banget apa yang saya pelajari di Indonesia dan di Belanda. Ternyata, apa yang ditulis di textbook itu benar-benar ada di sana (Belanda). Karena di sana bekerja dalam kondisi yang benar-benar ideal” ujarnya.