Cetak Spesialis Lebih Banyak dengan Pendidikan collegium-based

Sebagai bagian dari rancangan Academic Health System (AHS), kini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan semakin mematangkan konsep pendidikan spesialis dengan collegium-based untuk melengkapi hospital-based residency.

Seperti apa dan bagaimana perkembangannya? Yuk kita cari tahu.

Pendidikan Spesialis Collegium-based mengikuti standar UK

Tidak tanggung-tanggung, seperti dikutip dari akun instagram dr. Ngabila Salama dokter pemerhati dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dalam membuat kurikulum collegium-based residency, Kemenkes bekerja sama dengan Kolegium sebagai penyelenggara, dan Royal College London, di UK.

Hal ini melihat dari jumlah spesialis yang dapat dicetak di UK per tahun dengan sistem collegium-based yang diterapkan di UK. Dalam setahun, negara tersebut dapat menghasilkan 15.000 spesialis, meskipun jumlah penduduk mereka hanya 25% dari jumlah penduduk di Indonesia. Sementara Indonesia dengan 20 center PPDS nya hanya dapat mencetak 2500 spesialis saja setahun.

Tidak hanya melibatkan Royal College London, Kemenkes juga melibatkan ahli pendidikan dokter dalam negeri dalam menyusun kurikulum tersebut.

Apa saja yang akan berubah?

Dengan mengampu sistem collegium-based, maka penyelenggaraan pendidikan akan dilakukan oleh Kolegium secara langsung dengan prinsip hospital-based.

Karena Kolegium berada dibawah Kemenkes, maka biaya penyelenggaraan diampu langsung oleh negara. Sehingga nantinya pendidikan spesialis tidak berbayar sama sekali, dan malah peserta didik akan dibayar selama bekerja.

Pendidikan dokter spesialis ini nantinya juga akan didesentralisasi, di mana rumah sakit (RS) penyelenggara adalah RS di daerah setingkat Kapubaten/Kota.

Pembukaan prodi PPDS ini nanti rencananya akan menyesuaikan dengan kebutuhan dokter spesialis di daerah tersebut. Misalnya, di daerah yang penduduknya didominasi lansia, maka prodi yang akan dibuka adalah spesialis geriatri, spesialis penyakit dalam, kanker, jantung, dan lain semacamnya.

Baca juga  Ilmu Kedokteran Nuklir dan Teranostik: Seperti apa?

Penerimaan peserta didik pun juga akan menggunakan prinsip kebutuhan daerah dengan mengutamakan putera-puteri daerah. Kedepannya, daerah tidak lagi perlu mengirimkan dokter-dokternya ke kota besar untuk PPDS. Dokter dapat langsung menjalani pendidikan PPDS di daerahnya dan langsung bekerja di daerahnya.

Sehingga, PPDS yang mengenyam pendidikan spesialis sudah tahu akan ditempatkan di mana nantinya setelah selesai pendidikan.

“Kita akan dorong dokter umum yang ingin punya spesialisasi untuk belajar langsung di rumah sakit asalnya, sehingga tetap bisa melakukan aktivitas pekerjaannya sekaligus belajar dan mempersiapkan diri menjadi dokter spesialis tanpa harus kehilangan pendapatannya,” ungkap Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam press releasenya.

Sementara untuk tenaga pengajarnya sendiri, Kemenkes berencana akan mengirim konsulen dan spesialis senior ke daerah untuk menjadi tenaga pengajar.

Saat ini ada 6 kolegium yang sedang dalam proses penyusunan kurikulum collegium-based ini, antara lain kolegium ilmu kesehatan anak, jantung, paru, mata, jantung, onkologi, hingga orthopaedi.

Kesimpulan

Saat ini, sistem collegium-based masih dipersiapkan. Karena sistem ini tergolong baru dan belum pernah diterapkan di Indonesia, maka masih akan melalui proses evaluasi dan perbaikan, terutama berkaitan dengan mutu dan kualitas.

Meskipun begitu, perubahan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Sebab, jika tidak dimulai dari sekarang, maka kapan lagi?

1 thought on “Cetak Spesialis Lebih Banyak dengan Pendidikan collegium-based

  1. Ini inovasi bagus tapi semoga di barengi dengan quality control yg baik juga. Karena yg nama nya mendidik dokter Sp-1, tentunya pengajarnya juga harus sudah Sp-2, ibaratnya sama seperti pendidikan S-1 yg pengajarnya minimal harus S-2. Dan pemerintah juga menjaring RS dengan benar2 ketat karena sebagaimana faktanya sarana prasarana RS di tiap daerah berbeda, dan tentunya harus d benahi sebelum membuka center pendidikan tsb. Intinya masih banyak PR yg harus d persiapkan, tidak boleh terburu-buru hanya karena “butuh banyak SDM Spesialis” karena ini bukan permasalahan baru tapi masalah lama yg akhirnya d UP dan sistem kendali harus sangat baik karena ini cerita nyawa, kalau mau disamain dengan LN tentunya tidak bisa karena d LN RS bisa punya center penelitian nya sendiri, kalau d sini kan masih banyakan dari univ atau emang itu RS pendidikan. Sekian curhat an dan masukan 👍

Leave a Reply