Dokter Diaspora Indonesia: Kenapa tidak kembali ke tanah air?

Mungkin belum banyak yang tahu kalau sebenernya ada banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengenyam pendidikan mulai dari S1 kedokteran, spesialis, hingga subspesialis di Luar Negeri (LN). Namun, sebagian besar dari dokter diaspora Indonesia ini akhirnya tidak kembali ke tanah air.

Padahal, saat ini, Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan pemenuhan kebutuhan dokter tanah air untuk mewujudkan transformasi kesehatan Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengajak dokter diaspora untuk kembali ke tanah air.

Melalui webinar bertajuk “IDI mendengar Dokter Diaspora” yang diselenggarakan hari Minggu, 11 September 2022 lalu, IDI sebagai organisasi profesi bermaksud menjembatani upaya yang digalakkan oleh Kemenkes untuk memecahkan masalah para dokter diaspora yang menyebabkan mereka tidak pulang. Dan ini bukan semata-mata karena pendapatan.

Jadi, kenapa tidak pulang?

Bukan semata karena pendapatan

Jika membicarakan masalah pendapatan, memang benar bahwa pendapatan dokter di luar negeri reratanya lebih tinggi dibandingkan dengan di tanah air.

Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit dokter diaspora yang kemudian “dipanggil” kembali atau ingin kembali ke tanah air karena alasan tertentu, misalnya alasan keluarga.

Meskipun beberapa dokter diaspora ingin kembali dan bekerja di tanah air, akhirnya mereka urung melakukannya karena birokrasi yang tidak jelas, berbelit, dan lama seperti yang diungkapkan oleh para perwakilan dokter diaspora yang ikut hadir dalam webinar “IDI mendengar dokter Diaspora”.

Regulasi adaptasi bagi dokter diaspora yang tidak jelas dan tidak transparan inilah yang menjadi salah satu titik masalahnya dan menjadi alasan bagi para dokter diaspora enggan kembali.

Baca juga  Apakah yang disebut dengan 'bullying' dalam pendidikan kedokteran?

Adaptasi dokter diaspora Indonesia: Apa pentingnya?

Adaptasi bagi dokter lulusan luar negeri adalah suatu proses yang diperlukan sebelum dokter diaspora tersebut bekerja di Indonesia. Sebab, pendidikan kedokteran, spesialis, dan subspesialisasi di luar negeri memiliki proses dan outcome yang berbeda dengan pendidikan di tanah air.

Seperti yang diungkapkan oleh dr. Iqbal Mochtar, Sp.OK, MPH, MOHS, DiplCard, Ph.D yang merupakan staf Departemen Dokter Luar Negeri PB IDI. Dalam tulisannya yang dimuat di laman website IDI, dokter luar negeri memiliki level pendidikan yang sangat variatif.

Misalnya, ada negara dengan pendidikan spesialis yang hanya 2 tahun, tetapi ada juga yang 5-6 tahun. Ada yang memberikan full-license kepada para peserta didiknya, ada juga yang partial atau bahkan non-licensed. Ada juga fakultas kedokteran yang hanya memberikan partial training saja. Hal ini menjadikan proses adaptasi penting untuk mengevaluasi kesetaraan kompetensi.

Sayangnya, meski aturan adaptasi sudah diatur dalam Peraturan KKI No. 41 Tahun 2016, pada kenyataannya banyak hal yang tidak sesuai dengan aturan tersebut. Misalnya, berdasarkan peraturan, jangka waktu permohonan adaptasi adalah 1 bulan, namun tidak sedikit dokter diaspora yang kemudian harus menunggu 1 tahun, bahkan lebih, sebelum mendapat kejelasan tentang proses adaptasi, yang akhirnya membuat para dokter diaspora memilih untuk kembali ke negara tempat belajarnya lantaran “digantung” bertahun-tahun.

Salah seorang narasumber, dr. Kartika Hapsari, SpOG, FNVOG yang menjalani pendidikan subspesialisnya di Belanda mengaku harus menunggu 4 tahun untuk bisa mendapat kejelasan tentang program adaptasi baginya.

Apalagi untuk para dokter umum yang menjalani pendidikan S1 kedokteran, tidak ada peraturan yang jelas mengatur tentang proses adaptasi, termasuk institusi adaptasi, durasi adaptasi, hingga kelulusan.

Baca juga  Daftar Fakultas Kedokteran yang Diakui di Amerika

Komitmen pemerintah dan stake-holder terhadap Dokter Diaspora Indonesia

Walaupun banyak permasalahan dokter diaspora yang belum terpecahkan, namun pemerintah Indonesia, melalui Kemenkes, berkomitmen untuk mendukung para dokter diaspora ini bisa kembali dan bekerja di tanah air.

Hal ini dimulai dengan membenahi proses adaptasi bagi dokter spesialis lulusan luar negeri. Beberapa langkah yang sudah ditempuh untuk membenahi adalah dengan menerbitkan peraturan baru tentang program Adaptasi Dokter Spesialis melalui Permenkes No.14 tahun 2022, yang mengatur dengan jelas hingga ke durasi adaptasi itu sendiri.

Peraturan ini juga didukung dengan fasilitas pengajuan program adaptasi yang dilakukan secara online melalui website Kemenkes. Sehingga proses pengajuannya akan lebih cepat, lebih jelas, dan lebih transparan.

Saat ini, pembenahan ini baru ada di tahap dokter spesialis saja. Untuk tahap dokter umum dan subspesialis, masih belum ada peraturan dan fasilitas yang jelas terkait pengajuan program adaptasi. Baik IDI dan Kemenkes masih berupaya mengumpulkan aspirasi sebanyak-banyaknya dari para dokter diaspora untuk memperbaiki sistem adaptasi tersebut.

Kemenkes tidak hanya menggandeng IDI, tapi juga Kemendikbud sebagai otoritas pendidikan di Indonesia untuk turut membantu menyelesaikan permasalahan dokter diaspora tersebut. Harapannya, akan ada regulasi yang lebih jelas dan lebih tertata lagi untuk mereka yang ingin bekerja di tanah air.

Kesimpulan

Mendukung dokter diaspora Indonesia untuk kembali bekerja dan mengabdi di tanah air merupakan salah satu strategi Kemenkes untuk meningkatakan jumlah dokter Indonesia. Namun, hal ini perlu didukung dengan aturan yang jelas, tertata, dan transparan.

Saat ini Kemenkes telah membenahi peraturan adaptasi bagi dokter spesialis lulusan luar negeri. Dengan menggandeng Kementerian dan organisasi profesi, harapannya aturan adaptasi bagi dokter dan juga dokter subspesialis akan segera diterbitkannya.

Baca juga  #maujadi PPDS di Swedia! Gimana caranya ya?

1 thought on “Dokter Diaspora Indonesia: Kenapa tidak kembali ke tanah air?

Leave a Reply

%d bloggers like this: