PPDS dan gangguan mental

Kalau membicarakan PPDS dan gangguan mental, sebenarnya semua dokter sudah tahu, bahwa keduanya acap kali berhubungan. Dan ini bukan sekedar asumsi saja.

Ternyata tidak sedikit

Cerita ini pernah terdengar dari seorang PPDS tahun kedua di suatu prodi besar di center yang ada di tengah pulau Jawa. Menurut sang penutur, gangguan mental pada jenjang PPDS itu sangat mudah dijumpai.

Menurut sang penutur, di dalam satu angkatan sangat umum jika ada seorang PPDS yang kemudian mengundurkan diri pada semester atau tahun berikutnya karena alasan kesehatan mental.

Bahkan, memiliki teman seangkatan yang rutin berkonsultasi ke psikolog dan mendapat terapi obat-obatan psikiatri adalah biasa. Setidaknya ada 1 orang diangkatan sang penutur yang masih dalam terapi psikiatri.

Hal yang mirip juga pernah terdengar dari seorang PPDS di suatu prodi di center Jawa Timur. Seorang PPDS yang menjalani pendidikannya sambil dibawah perawatan seorang psikiatris. Pun pernah terjadi di center lain dimana ada PPDS yang diminta cuti untuk istirahat karena mengalami gangguan mental.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, mungkin akan lebih banyak lagi kasus PPDS dan gangguan mental yang dilaporkan.

Mengapa terjadi gangguan mental?

Sebuah artikel yang pernah diterbitkan oleh mojok.co tahun 2018 mungkin bisa memberikan sedikit gambaran tentang apa yang dihadapi para PPDS di dalam pendidikan mereka.

Kondisi lingkungan pendidikan yang kurang mendukung, serta beratnya tuntutan pendidikan dan pelayanan, menjadi momok yang berlangsung terus menerus.

Ditambah lagi tidak ada tempat dimana para PPDS ini bisa mencurahkan isi hati mereka. Tidak ada wadah “yang aman” pula bagi mereka melakukan pengaduan jika terjadi perundungan.

Baca juga  #maujadippds: Andrologi! Bukan cuma reproduksi pria!

Satu berita pernah mencuat tentang seorang PPDS bedah plastik yang melakukan bunuh diri karena diduga mengalami perundungan. Bisa saja ini merupakan tip of the iceberg dari permasalahan PPDS dan gangguan mental yang tidak terselesaikan.

Sayangnya, beberapa orang beranggapan bahwa hal seperti ini berakar dari mental si PPDS yang tidak kuat, padahal faktor lingkungan bisa saja berperan lebih besar.

PPDS dan gangguan mental dalam publikasi

Salah satu literatur yang diterbitkan dengan mengangkat tema ini adalah sebuah publikasi tahun 2016 yang dilakukan di dalam lingkungan prodi IKA di Universitas Indonesia.

Dalam publikasi tersebut, disebutkan bahwa dari 117 responden yang merupakan PPDS IKA didapatkan 23,9% diantaranya mengalami depresi yang dinilai dengan Major Depression Inventory dari WHO ICD-10.

Menariknya, berdasarkan dengan hasil pada studi ini, sebagian besar dari subjek menyatakan bahwa depresi yang mereka alami berhubungan dengan pendidikan yang sedang dijalani.

Sementara di luar negeri, sudah banyak studi yang menelisik isu ini. Pada studi yang dipublikasikan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa ada perbedaan gender pada residen yang mengalami stres di Kanada, dimana wanita mengalami stres lebih banyak dibandingkan laki-laki. Salah satu hal yang diduga menjadi pemicu stress adalah intimidasi dan harassment yang dilaporkan oleh 55% dari subjek studi.

Pada studi terbaru di Perancis, menunjukkan bahwa 30,5% residen dari total 2314 responden menggunakan obat-obatan psikotropik selama residensi, dengan 21,7% diantaranya menggunakan obat tersebut secara self medication. Beberapa gangguan yang mereka alami antara lain gangguan tidur atau anxiodepressive disorders, sayangnya, hanya sedikit yang benar-benar mencari pengobatan.

Sudah menjadi hal yang jelas, bahkan dari sisi saintifik, bahwa kejadian depresi di kalangan physician in training masih tinggi, setidaknya di Amerika. Namun jika dibandingkan dengan 13 tahun terakhir, ternyata ada kecenderungan penurunan.

Baca juga  Strategi Pemerataan Spesialis: Sudah Tahu?

Kesimpulan

PPDS dan gangguan mental adalah suatu fenomena yang terjadi di belahan bumi manapun, termasuk di Indonesia. Dan kejadiannya memang nyata dan tidak sedikit.

Hanya saja, tidak banyak perhatian yang diberikan pada isu ini. Tidak ada studi dan observasi yang jelas, sehingga kebijakan terkait isu ini masih “timbul tenggelam”.

Dengan semakin tingginya awareness tentang residensi dan gangguan mental ini, harapannya fenomena ini akan terus menurun, termasuk di Indonesia.

Catatan: Identitas dalam artikel ini disembunyikan untuk keamanan

Leave a Reply