Lulus dokter langsung dapet gelar magister! Mau? #maujadimagister
Kali ini #maujadiapanih bakal mulai mengupas serba-serbi tentang pendidikan master/magister, mulai dari dalam negeri, sampe luar negeri, mulai dari bidang keilmuan kedokteran, sampai yang lintas jurusan. Kenyataannya, jenjang master adalah salah satu jenjang pendidikan yang patut di pertimbangkan dan dapat mempengaruhi perjalanan karir kita lho!
Nah, kali ini kita akan mulai dari Magister Biomedik. Ada dr. Risa Ramadhani, M.Biomed, sejawat kita yang telah menyelesaikan pendidikannya di Program Magister di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya tahun 2015, hampir bersamaan dengan selesainya Pendidikan Dokter-nya! Tidak hanya itu, semenjak menjalani pendidikan magisternya, dokter yang akrab dipanggil dr. Risa ini berhasil menyabet beberapa prestasi di bidang cardiovascular research, seperti memperoleh Travel Grant di ajang Asia Pasific Congress of Hypertension 2015 dan Bronze Price pada ajang Young Investigator Awards di pertemuan Hypertension Seoul 2016. Saat ini dr. Risa pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang PhD di negara matahari terbit! Penasaran gimana caranya bisa #jadimaster #jadimagister plus #jadidokter bersamaan? Dan gimana caranya bisa berprestasi? Simak yuuk
Daftar isi
Kenapa memilih melanjutkan ke jenjang master/magister?
“Karena terinspirasi salah satu dosen kardiologi, dokter spesialis jantung yang juga seorang PhD dan peneliti,” ungkap dr. Risa, “Beliau bisa menjelaskan hal rumit dengan sangat sederhana, seperti yang orang bilang kalau semakin pintar seseorang, maka akan semakin sederhana ketika menjelaskan. Beliau memiliki proyek penelitian yang membuat saya tertarik. In short, mengambil master karena adanya role model”.
Mengambil keputusan untuk menempuh pendidikan magister sendiri bagi dr. Risa juga tidak mudah, “Dulu ada semacam stigma kalo lulus dokter itu harus PPDS, dan dulu katanya akan lebih sulit diterima PPDS kalau sudah S2”. Beruntungnya, dr. Risa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Magister Biomedik melalui jalur fast track, sehingga dr. Risa semakin mantab untuk menjalani pendidikannya, “Kesempatan ngga datang dua kali, dan terkadang kita tidak selalu tahu apa yang baik untuk kita. Jadi ya, dijalani aja” tukasnya.
Bagaimana proses pendidikan magister biomedik?
Buat kamu yang belum tahu, di Universitas Brawijaya, Program Magister Ilmu Biomedik (PMIB) dapat ditempuh dengan program ganda atau double degree dengan Program PPDS (Prodi Syaraf, Patologi Klinik dan Pediatri) dan juga dapat ditempuh ketika berada dalam program pendidikan dokter (setelah S.Ked) atau yang disebut PMIB-Dokter (baca lengkapnya disini). Dengan bantuan dari program beasiswa fast-track dari DIKTI, maka mahasiswa berprestasi di bidang akademik dan bahasa inggris dapat mendaftarkan program ini ketika menempuh semester VI dan memulai perkuliahan magister sejak semester VII (informasi persyaratan pendaftaran dan informasi).
“Dulu saya memulai perkuliahan semester 1 program magister setelah S.Ked, sambil menunggu masuk koas. Kemudian ambil cuti maksimal 2 tahun di program magister untuk menyelesaikan koas dan kembali melanjutkan program ketika masa persiapan UKDI, sampe selesai program” jelas dr. Risa. Untuk jadwal perkuliahan, umumnya sudah selesai diberikan pada semester 1 dan 2, yang meliputi kuliah dasar tentang biologi molekuler, genetika, imunologi, hingga ke materi biostatistik, metodologi riset dan penulisan riset. Sementara pada semester 3 dan 4 digunakan untuk menyusun penelitian sesuai dengan peminatan, “Sewaktu cuti sambil koas kadang sambil nyicil penelitian juga, tapi tidak bisa maksimal. Setelah selesai koas, nyambi penelitian sambil bimbingan UKDI. Ingat betul dulu harus datang ke lab jam 7 pagi, lalu dilanjut bimbingan UKDI sembari inkubasi penelitian, selesai bimbingan balik ke lab lagi” dr. Risa menambahkan, “penelitian (thesis)-nya nanti bergantung dengan peminatan”. Untuk bidang peminatan PMIB diantaranya ada topik Endothelial Dysfunction, clinical epidemiology, philosophy of science, medical ethics and law, dan clinical pharmacology, dimana dr. Risa mengambil peminatan degenerative disease/hypertension (endothelial dysfunction) mengikuti dosen pembimbing yang juga role model-nya.
Hanya, untuk program fast-track, dr. Risa berpesan untuk siap-siap, “karena kuliahnya bener-bener dimampatkan, 2 semester jadi 1 semester, jadi ada kalanya kuliah itu dari senin sampai minggu”. Jadi, apakah 2 tahun cukup? “Cukup, tergantung submission paper-nya, karena yg bikin molor biasanya itu, paper harus accepted untuk syarat kelulusan” jawab dr. Risa.
Apa sih serunya ambil S2?
“S2 itu bisa menjadi stepping stone untuk ke jenjang yang lebih tinggi (S3), karena dari S2 itu kita mendapat kesempatan untuk belajar lebih tentang penelitian,” dr. Risa menjelaskan, “selain itu, karena penelitian juga melibatkan banyak sektor, kita juga belajar soft skill seperti komunikasi di dalam lingkup saintifik, antara dokter, PPDS, bahkan perawat yang ikut terlibat dalam penelitian klinik misalnya”. Proses studi magister juga menjadi wadah bagi dr. Risa untuk lebih mengeksplor diri dan melihat berbagai peluang yang ada bagi seorang dokter, “jadi dokter ngga melulu soal klinis, ada juga yang lain. Tergantung panggilan hati kita, mau fokus kemana”
Untuk yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang PhD, apalagi di luar negeri, menjalani pendidikan magister bagi dr. Risa banyak mendatangkan peluang, “kalo ngga ambil S2, mungkin kesempatan lanjut PhD itu belum tentu datang”. Apalagi buat yang suka ikut kegiatan ilmiah seperti presentasi poster atau oral, menjadi murid S2 akan membuka lebih banyak peluang dan pengalaman. “Salah satu Quote pembimbing saya yang masih saya ingat yaitu S1 itu coba2 penelitian, S2 belajar penelitian, S3 melakukan penelitian. Ya saat sudah S3 ini baru benar-benar terasa maksud sebenarnya dari quote tersebut hehe”
Rencana setelah S2, kenapa ambil S3?
“Karena, sekali lagi, ditawari untuk ambil S3 sama pembimbing”. Setelah 2 kali mendaftar beasiswa LPDP, akhirnya dr. Risa berhasil melanjutkan impiannya meneruskan pendidikan S3.
Ngga kepikiran lanjut ke PPDS setelahnya?
Tidak bisa dipungkiri, menjadi spesialis masih menjadi mimpi banyak dokter, termasuk dr. Risa sebelum menyelesaikan pendidikan magisternya. Namun, lambat laun, paradigma itu berubah.
“Belum tahu sampai saat ini, tapi saya merasa PPDS itu tanggungjawabnya sangat amat besar. Jadi sebaiknya yang lanjut PPDS adalah orang-orang yang memang siap dengan tantangan dan tanggungjawab itu. Kalau kita merasa ngga mampu, ngga ada salahnya ambil jalur akademis. Sama menantangnya kok” jawab dr. Risa, “Setelah menjalani S2 saya punya kesempatan untuk membandingkan secara langsung dunia klinis (koas) dan non klinis (S2). Saat itu sampai saat ini saya lebih nyaman di jalur ini (akademis), tapi tidak menutup kemungkinan saya akan daftar PPDS juga di kemudian hari. Sudah banyak contohnya kalau sudah S3 masih bisa PPDS, stigma yang jalur akademis tidak bisa belok ke jalur klinis itu salah”.
Pesan untuk teman-teman yang ragu untuk ambil S2/S3?
Sangatlah wajar ketika kita dibangku kuliah, kita bertanya-tanya, buat apa sih kita meneliti sel, protein, DNA, hal yang kecil-kecil, toh nanti kita mengobati manusia, mengobati organ?
“Menempuh pendidikan S2/S3 itu salah satu cara untuk membentuk jalan pikir yang sistematik. Jalan pikir yang sistematik akan bermanfaat ketika kita akan memecahkan masalah dalam kasus apapun, termasuk klinis. Disease itu terkait satu sama lain, jadi pola pikir sistematis itu sangat penting sekali. Itu juga yang saya pelajari dari dosen yang juga role model saya,” jelas dr. Risa. Bagi dr. Risa, tidak perlu takut menjadi seorang lulusan S2 atau S3, “Kedepannya, kesempatan menjadi dosen akan lebih besar. Menjadi dosen jaman sekarang sudah jauh berbeda dengan dosen jaman dulu, jadi stigma tentang dosen sudah ngga lagi relevan. Jangan takut jadi dosen atau peneliti. Pst, dosen ga harus di Indonesia lho, banyak orang Indonesia yang menjadi dosen di Universitas ternama di dunia”. Seru kan?!
Ada yang ingin mengikuti jejak dr. Risa?