Magister Ilmu Biomedik: Kedokteran Molekular, Kayak apa sih?

#maujadimagister

Kalo sebelumnya kita membahas Magister Ilmu Biomedik di Universitas Brawijaya, sekarang kita akan melihat program Magister Ilmu Biomedik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dulunya bernama Magister Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis ini. Kali ini dr. Andreas Haryono, M.Sc, akan berbagi gambaran seputar perkuliahan di program magister lalu.

Kenapa memilih melanjutkan ke jenjang master/magister?

“Awalnya karena waktu masih S1 pernah melihat presentasi dosen Ph.D dari jepang yang keren banget tentang basic science. Terus jadi timbul minat buat jadi peneliti di bidang basic science,” jelas dr. Andreas yang mengenyam pendidikan dari tahun 2014-2016 ini. Dokter lulusan Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak ini mengaku mendapat sosialisasi seputar program studi MIB dari kunjungan salah seorang profesor dari UGM selepas menjalani program internship. “Setelah mendapat informasi, saya terbang ke Jogja untuk menjalani tes sekaligus mendaftar beasiswa LPDP,” ujar dokter yang juga seorang awardee LPDP ini.

Apakah sulit untuk mendaftar menjadi mahasiswa magister? “Sama sekali ngga sulit,” jawab dr. Andreas, “asal syarat pendaftaran dan tes masuknya terpenuhi, pasti diterima. Selain itu persaingannya juga tidak begitu ketat”. Dr. Andreas menyebutkan bahwa peluang untuk diterima S2 lebih besar ketimbang diterima PPDS. Berdasarkan pengalaman dr. Andreas, setidaknya ada 44 mahasiswa dalam satu angkatan magister. Cukup banyak kan?

Bagaimana proses pendidikan magister biomedik?

Program MIB di UGM ini dapat ditempuh dalam 4 semester, dengan semester pertama diisi kuliah dasar seputar biologi molekular (dasar), genetika, imunologi, statistik, metodologi riset, dan kuliah penulisan riset. Pada semester kedua, kuliah akan difokuskan sesuai dengan peminatan. Ada 9 peminatan di program ini, antara lain: Anatomi, Biokimia, Ilmu Faal, Farmakologi, Parasitologi, Histologi dan Biologi Sel, Biokimia, Kedokteran Molekular, dan Reproduksi Manusia (info lanjut klik disini). Sedangkan 2 semester terakhir akan diisi dengan penyusunan penelitian dan tesis. Bahkan kedepannya,program MIB UGM juga akan melakukan program double degree/joint degree melalui kerjasamanya dengan  University of Montpellier, Perancis, seperti pada program EPID (Emerging Parasitic and Infectious Disease) dimana mahasiswa MIB UGM akan dikirimkan untuk melakukan penelitian bersama (klik disini). 

Baca juga  Ilmu Kedokteran Nuklir dan Teranostik: Seperti apa?

“Saya sendiri memilih peminatan kedokteran molekular, karena ilmunya seputar translational research, yaitu jembatan antara penyakit klinis dan basic science. Saya percaya kedepannya riset translasional ini akan berkembang dan berperan penting dalam perkembangan ilmu kedokteran,” jelas dr. Andreas. Sembari menjalani pendidikan magister-nya, dr. Andreas juga masih tetap menjalankan pekerjaannya sebagai dokter klinis, “Jadi jangan khawatir, selama pendidikan kita masih tetap bisa praktik seperti biasa,” ujarnya.

Apa sih keuntungan ambil S2?

Ada tiga keuntungan utama yang disebutkan oleh dr. Andreas tentang pendidikan magister ini: Pertama, kita bisa mengembangkan keahlian dan ketrampilan kita dalam penelitian di basic science. Kedua, besar kesempatan kita untuk bisa melihat presentasi dari dosen-dosen tamu luar negeri sehingga kita bisa mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan di dunia dengan lebih cepat. Ketiga, kita bisa mendapat kesempatan buat lanjut kuliah S3 di luar negeri, seperti yang sedang dialami oleh dr. Andreas yang saat ini sedang menempuh pendidikan S3-nya di Jepang. 

Salah satu keunggulan dari program MIB di UGM ini adalah adanya mata kuliah pilihan baru yaitu Animal Disease Model, dimana mahasiswa dapat mempelajari model penyakit menggunakan hewan coba, yang ini sudah banyak diaplikasikan dalam penelitian-penelitian basic science di dunia. Sehingga kedepannya, lulusan program MIB UGM sudah “fasih” mempergunakan animal model dalam penelitian molecular. “Jadi, ketrampilannya sudah bertaraf internasional,” kata dr. Andreas.

Rencana setelah S2, lalu apa?

“Tentunya melanjutkan ke S3, karena cita-cita memang ingin lanjut ke S3” jelas dr. Andreas yang menyelesaikan S2-nya dengan predikat cumlaude ini, “Harapan ke depannya nanti bisa punya lab sendiri untuk penelitian di bidang Molecular Medicine”. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa peluang bekerja diakui dr. Andreas terasa lebih luas setelah menyelesaikan pendidikan magisternya. “Selain bisa praktek seperti biasa, setelah selesai S2 jadi terbuka peluang untuk mengajar di universitas misalnya, bisa juga menjadi asisten penelitian di pusat penelitian, kadang bisa juga ke perusahaan farmasi, untuk bagian research and development” tambah dr. Andreas yang sempat menjalani pekerjaan sebagai asisten penelitian sebelum berangkat melanjutkan studi S3-nya di Jepang.

Baca juga  #maujadiPPDS Onkologi-Radiasi: Persimpangan antara biologi dan fisika.

Pesan untuk teman-teman yang ingin mengambil S2?

Ada beberapa pesan dari dr. Andreas untuk teman-teman yang ingin lanjut ke S2. “Masuk ke jenjang S2 tidak sulit. Yang penting kemampuan bahasa inggris kita cukup. Karena literatur dan sumber belajar sebagian besar tentu dalam bahasa inggris. Publikasi yang kita buat pun juga nantinya akan berbahasa Inggris. Jadi, jangan lupa pertajam bahasa inggris” ujarnya. Sisanya, maksimalkan ujian tes masuk program magister seperti tes TPA dan ACEPT (bahasa inggris).

Ada yang ingin lanjut jenjang S2?

Leave a Reply

%d bloggers like this: