COVID-19 101: a summary for doctors/GP

Well, saat ini bisa dibilang semua dokter adalah dokter spesialis COVID-19. Semua dokter dituntut untuk mengerti penegakan diagnosis, perawatan, hingga prognosis. Tidak jarang masyarakat menjadikan dokter-dokter sebagai sumber informasi dan panutan, tanpa peduli spesialisasi kita. Untuk itu kita harus siap menjawab hal-hal basic seputar COVID-19. Apa saja itu? Yuk kita rangkum di sini.
Daftar isi
Kapan harus curiga COVID-19?
Saat ini, jika kita bertemu dengan pasien yang gejala berikut ini: demam, batuk, pilek, fatigue/kelelahan, sakit kepala, nyeri sendi, diare, mual, muntah, hingga anosmia, ageusia boleh curiga ke arah COVID-19. Apalagi jika ditemukan riwayat kontak erat. Namun melihat cepatnya penyebaran varian delta, kita wajib curiga ke arah COVID-19 segera setelah melihat gejala sampai terbukti bukan.

Kapan melakukan tes diagnosis?
Seperti yang dijelaskan dalam gambar yang disadur dari publikasi dalam jurnal Nature Reviews Genetics, pemeriksaan yang paling awal yang dapat digunakan adalah pemeriksaan berdasar molekular seperti: RT-PCR, NGS (genome sequencing), NAAT (nucleic acid amplification test) atau pemeriksaan antigen.
Apabila kita mendapatkan pasien dengan gejala kearah COVID-19, maka bisa langsung kita arahkan untuk pemeriksaan molekular atau antigen. Sedangkan pada pasien dengan riwayat paparan, tapi tanpa gejala tertentu, dapat kita lakukan pemeriksaan segera setelah dan diulang setelah 5 hari apabila hasil yang pertama negatif.

Pemeriksaan antigen lebih akurat dilakukan maksimal 5-7 hari setelah timbul gejala, sementara PCR dapat dilakukan dengan jangka waktu maksimal yang lebih panjang (silahkan mengacu pada gambar)
Bagaimana mengintepretasikan hasil pemeriksaan COVID-19?

Jangan bingung dengan pemeriksaan PCR yang positif kemudian berubah menjadi negatif di tempat pemeriksaan yang berbeda. Pada pemeriksaan PCR, kemungkinan negatif palsu lebih besar ketimbang kemungkinan positif palsu. Jadi, hasil PCR positif lebih reliable ketimbang yang negatif.
Artinya, apabila dilakukan 2x PCR dalam waktu berdekatan dengan hasil pertama positif, meskipun PCR kedua hasilnya negatif, tetap hasil yang positif lebih reliable. Kenapa? Karena penyebab terjadinya false negative lebih banyak ketimbang false positive (baca di sini).
Bagaimana dengan pemeriksaan swab antigen?
Karena spesisifisitas dan sensitifitas yang relatif lebih rendah ketimbang pemeriksaan gold-standardnya, RT-PCR, pada pemeriksaan antigen dengan kondisi tertentu perlu ditunjang dengan konfirmasi menggunakan pemeriksaan berbasis NAAT.
Apa perawatan minimal yang bisa kita berikan pada pasien?
Nomor satu, anjurkan untuk isolasi mandiri bagi pasien tanpa gejala/asimptomatik, gejala ringan, dan memiliki lingkungan rumah/kamar dengan ventilasi yang baik. Apabila pasien tidak memiliki rumah/kamar yang memadai, bisa diarahkan ke pemerintah setempat untuk diarahkan ke shelter atau fasilitas isolasi setempat.
Jangan lupa minta keluarga pasien untuk melaporkan ke puskesmas dan perangkat masyarakat setempat (pak RT atau RW) atau bahkan ke satgas COVID-19 setempat, bila ada, mengenai kondisi positifnya. Hal ini penting untuk pencatatan sekaligus monitoring dari pasien. Bila perlu sarankan pasien untuk monitoring melalui telemedicine.
Protokol isolasi mandiri (isoman) meliputi pemeriksaan suhu tubuh pagi dan sore, pemeriksaan saturasi oksigen dan nadi, pemantauan laju napas dan intake gizi yang baik. Ajari juga kegiatan harian seperti berjemur, membuka jendela, olahraga, dan lainnya, serta tatacara menjaga kebersihan selama isoman (download petunjuk isoman versi PAPDI di sini).
Beritahu pasien tentang tanda-tanda bahaya antara lain tanda klinis pneumonia: demam, batuk, sesak, nafas cepat, yang diikuti satu dari kriteria berikut: frekuensi nafas >30x/menit, atau SpO2 <93% pada udara ruangan. Anjurkan untuk segera ke faskes terdekat agar dapat dirujuk ke RS rujukan Covid (untuk melihat ketersediaan bed dapat mengunjungi tautan ini).
Kapan pasien boleh selesai isoman?

Untuk pasien tanpa gejala, maka 10 hari isoman sejak terkonfirmasi positif sudah cukup. Sedangkan untuk gejala ringan, harus disertai dengan 3 hari bebas gejala. Anjurkan pasien untuk melakukan konsultasi dengan dokter sebelum mengakhiri karantina.
Hal ini didasarkan dari studi tentang viabilitas virus tersebut dalam kultur. Masa infeksius virus ini diperkirakan ada pada H-2 hingga H+10 gejala dengan puncak infeksiusnya berada pada H-0 sampai H+5 gejala. Sehingga isolasi selama 10 hari dianggap cukup untuk pasien tanpa gejala dan gejala ringan (baca rangkumannya di sini).
Yang terpenting, jangan terpaku pada angka CT. Karena PCR tidak dapat membedakan virus yang infeksius maupun tidak. Pada fase akhir penyakit, PCR masih bisa positif dengan CT value rendah, tetapi tidak menularkan.
Terapi?
Utamakan obat-obat simptomatik seperti penurun panas, obat batuk, serta multivitamin. Hindari penggunaan antivirus dan antibiotik yang tidak rasional. Karena hingga saat ini belum ada obat yang spesifik untuk mengobati COVID-19. Selalu ingat kontraindikasi dan efek samping tiap-tiap obat untuk tiap pasien. Jangan ragu untuk konsultasikan ke senior atau spesialis di bidangnya.
Apalagi yang wajib kita ketahui dan perlu kita jawab? Yuk yang mau menambahkan dan ingin diskusi bisa lanjut di kolom komentar di bawah!