Master of Science in Cardiovascular Science: Sulitkah? #maujadimaster #masterinUK

Siapa yang kepingin sekolah di University of Glasgow? Salah satu dari 100 universitas terbaik di dunia. Pasti sulit sekolahnya? Apakah betul begitu? Mari kita tanya sama dr. Monika Setiawan, M.Sc(MedSci) yang telah menyelesaikan program master-nya di bidang cardiovascular di University of Glasgow tahun 2016-2017 lalu.
Daftar isi
Kenapa memilih master di University of Glasgow?

“Awalnya karena ingin meningkatkan value supaya bisa masuk PPDS jantung,” dr. Monika bercerita, “selain itu, sebelumnya saya memang bekerja sebagai asisten penelitian di bidang Pulmonary Hypertension (PH) bersama salah satu konsulen jantung di UGM, jadi memang tertarik ingin mendalami bidang jantung, lebih spesifik lagi seputar PH”. Ditambah lagi, adanya kesempatan dan beasiswa semakin membuat dokter yang lama tinggal di kota Yogyakarta ini ingin mengenyam pendidikan di belahan bumi yang lain. Dokter yang ingin menambah kemampuan sebelum terjun ke dalam dunia klinis ini akhirnya memilih untuk melanjutkan ke jenjang master.
dr. Monika pun tidak lantas memilih negara Inggris begitu saja sebagai negara tujuan studi, “saya awalnya tertarik dengan The University of Manchester, karena dulu saya pernah menghadiri satu kuliah tamu yang diisi oleh Prof. Delvac Oceandy, orang Indonesia yang kini menjadi profesor di University of Manchester, yang memperkenalkan stem cell di ranah cardiovascular research, tepatnya di heart failure, dan itu sangat menarik sekali” jelasnya. Walaupun pada akhirnya dr. Monika memilih University of Glasgow karena memiliki program riset PH serta memilki cardiovascular research center yang masuk ke dalam top-5 cardiovascular research program menurut British Heart Foundation (BHF), “artinya, riset di University of Glasgow ini produktif, karena dapat funding dari BHF itu tadi”.
Bagaimana proses studinya?
“Saya memilih taught programme cardiovascular science, dimana di program ini ada perkuliahan selama 9 bulan dan dilanjutkan dengan riset selama 3 bulan” jelas dr. Monik. Selain taught programme (Info lanjut taught program) , University of Glasgow juga memiliki research programme dimana riset akan memiliki proporsi lebih lama, yaitu 6 bulan, dan bisa terintegrasi dengan program PhD (Info research programme). Di program ini, peserta didik akan mendapat kuliah tentang terapi seputar cardiovascular dan diabetes, aspek klinik dari CVD, evidence-based biomedical research methods and statistic, ilmu kedokteran dasar termasuk biologi molekuler, epidemiologi, imaging, dan juga seputar riset klinis dan laboratorium. Ada juga matakuliah pilihan seperti statistika untk riset klnis dan translasional, intervensi gaya hidup untuk cardiometabolic disease, dan juga assessment of vascular function. Selain berkuliah, peserta didik juga wajib mengajukan topik riset sesuai dengan interest masing-masing, yang kemudian akan didisposisikan ke pembimbing yang sesuai, “jadi topik dan supervisor bisa milih sendiri sesuai interest. Kalo ngga cocok, nanti di-adjust entah topik atau supervisornya oleh pihak office” jelas dr. Monika yang mengambil tema seputar obat Pulmonary Hypertension (PH) dan mekanisme molekular yang terjadi di dalamnya. Riset tersebut diakuinya dilakukan dengan melakukan penelitian in vivo di laboratorium, “jadi dapet pengalaman riset laboratorium, walaupun ngga dari nol, dan banyak dibantu oleh PhD student dan supervisor juga, walaupun publikasinya bukan kita yang melakukan” kata dr. Monika.
Apakah sulit kuliah di sana?
Ada satu hal yang menurut dr. Monika cukup menantang selama perkuliahannya di University of Glasgow, “Tugas bikin essay misalnya. Karena di Indonesia sekolah kedokteran kan ngga terbiasa critical thinking, kebanyakan hapala aja. Jadi bikin essay ini ngga gampang, karena kita ngga boleh plagiat atau copas atau cuma sekedar mengutip tulisan orang lain. Jadinya harus ekstra baca banyak paper dan merenung untuk bisa menuangkan gagasan kita ke dalam essay” ujarnya. Hal ini juga dirasakan sepanjang menjalani pendidikan, terutama ketika menghadapi ujian. “Kalau ujian semua pertanyaannya tentang how, why, explain, yang jawabannya bisa berlembar-lembar. Jadi materi kuliah harus dibaca berulang-ulang sampai ngerti plus baca bacaan tambahan lain. Ngga mungkin lah sistem SKS” kata dr. Monika. Walaupun begitu, dr. Monika mengakui bahwa kuliah yang diberikan oleh para dosen umumnya jelas dan mudah diikuti.
Bagi dr. Monika sendiri, perjalanannya menempuh pendidikan di UK bisa dibilang tidak mudah. Apalagi jika dibandingkan dengan sistem pendidikan S1 di Indonesia yang belum mengedepankan critical thinking. Terlebih lagi, buat peserta didik yang memang bukan native english speaker, tantangannya akan terasa lebih berat. Tapi, pendidikan di UK juga punya kelebihan tersendiri, misalnya waktu kuliah yang tidak terlalu padat, waktu self-study yang banyak dan bisa dimanfaatkan untuk mengikuti berbagai seminar di berbagai kota sekalian berwisata. Tidak hanya itu, para peserta seminarpun juga acap kali mendapat jamuan makan. Belum selesai sampai disitu. Fasilitas untuk self study juga sangat mumpuni, mulai dari perpustakaan yang bisa diakses kapanpun dengan fasilitas yang banyak, teman-teman dari lintas negara yang bisa diajak berdiskusi, selain itu, para pengajar juga sangat memfasilitasi kegiatan belajar, “dosen di UK ini umumnya senang diajak berdiskusi, dan senang sekali memberikan jawaban yang lengkap untuk pertanyaan kita. Mereka juga ngga kaku dan ngga sungkan untuk memuji. Sangat helpful dan encouraging, yang itu sangat mendukung proses studi” begitu dr. Monika menjelaskan. Bahkan kalau kita beruntung, kita bisa diajak oleh supervisor untuk ikut dalam kegiatan klinis di rumah sakit.
Prospek kedepan lulusan M.Sc?

Menurut dr. Monika yang memilih melanjutkan pendidikannya ke jenjang PhD di negara yang berbeda, selain membuka peluang untuk melanjutkan pendidikan, memperoleh gelar S2, apalagi di luar negeri, dapat membuka banyak peluang. “Apalagi di Indonesia kalo lulusan luar negeri kan lebih banyak yang kagum. Tapi hati-hati juga pas daftar posisi, supaya ngga overqualified, sehingga dari segi apresiasi pun bisa sesuai,” tukasnya. Saat ini, lulusan S2 luar negeri di bidang biomedis menurutnya dapat bekerja di luar dunia klinik, misalnya di perusahaan farmasi, “misalnya di bagian research and development, atau medical affairs executive” ungkap dokter yang sempat menerima tawaran menjadi dosen dan tawaran bekerja di perusahaan farmasi ini. Sayangnya, lamaran tersebut tidak dilanjutkan lantaran mendapat kesempatan untuk melanjutkan S3. Dan, tidak ketinggalan, tentunya peluang untuk menjadi staf pengajar atau peneliti di universitas juga terbuka lebar.
Bagi yang ingin melanjutkan ke klinis pun, bagi dr. Monika, kesempatan masih lebar. Karena program master di UK yang hanya memakan waktu 1 tahun, masih banyak kesempatan untuk meningkatkan kemampuan klinis. Seperti dr. Monika yang memutuskan untuk mengambil PTT di Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur, selama 1 tahun, “supaya bisa dapat rekomendasi untuk PPDS”. Sayangnya, karena alasan kesehatan, dr. Monika kemudian lebih memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang PPDS.
Bagaimana tips and trick bisa melanjutkan S2 di UK?
“Kalo bagian essay sama funding uda ada, kayanya chance-nya besar”, dr. Monika menjelaskan, “yang penting penuhi persyaratan pendaftaran, terutama di bidang bahasa inggris, harus memenuhi syarat IELTS-nya”. Jangan lupa untuk memenuhi persyaratannya, termasuk surat rekomendasi dari 2 orang dokter konsulen.
Untuk mendapatkan beasiswa, dokter yang merupakan salah satu awardee LPDP ini menekankan pentingnya menulis essay, “karena ngga gampang menulis essay, menumpahkan pemikiran kita ke dalam sebuah tulisan yang mewakili kontribusi kita nanti” ujarnya.
Kalau kamu, tertarik sekolah di UK juga?