#maujadippds: Ilmu Kesehatan MATA! The rising star!
Sekarang mimin bakal sharing informasi dan diskusi sama temen-temen PPDS Mata seputar prodi Kesehatan Mata ini. Penasaran ngga sih dengan prodi rising star ini? Kenapa prodi Mata ini populer? Apa ada kaitannya dengan “prospek masa depan”? Dan gimana caranya biar bisa #jadippds Mata? Simak terus~
Berdasarkan penelusuran tim #maujadi apa, ada beberapa fakta yang harus kamu ketahui dulu sebelum masuk ke prodi PPDS Mata:
- Ada 12 Center PPDS yang punya Prodi MATA. Jadi temen-temen beruntung, karena prodi Mata tergolong prodi yang umum. dari total 16 center PPDS, 75% alias 12 center sudah punya prodi ini. Jadi bebas mengejar pendidikan dimana pun berada.
Untuk yang di Sumatera ada UNAND, UNSRI, dan USU, semua center di Sulawesi dan Bali ternyata punya prodi ini, dan hanya satu center di pulau Jawa, yaitu UNS, yang belum membuka prodi ini. Cek disini untuk tabel lengkapnya - Lama Studi 8 Semester. Nah, ini penting buat mengukur kesiapan, terutama kesiapan finansial. Dari hasil penelusuran mimin sih ngga ada yang lebih dari 8 semester, kalo lancar. Tapi, siap ngga hidup 8 semester dengan income minim ala PPDS.
- Biaya Studi: SPP ~10-21 juta/semester dengan Sumbangan mencapai 65 juta. Sudah siapkan kocek? SPP termurah sekitar 10 jt (UB dan UNAIR) dengan rata-rata SPP di 15 juta. Sumbangan termahal ada di UB (65), sementara yang lain ada di kisaran 20-40 juta, kecuali universitas yang menggunakan system UKT (UGM, UNUD) dan DKA (USU-jumlahnya tetap 7 juta)
Kenapa prodi Mata?
Dari 141 responden, beberapa dari mereka memilih prodi Mata selain karena “ilmunya menarik”, juga karena “fleksibel, cocok untuk perempuan”, dan durasi sekolah yang “relatif cepat”. Nah, menurut dr. Retna Mustika, PPDS Mata UGM, prodi Mata itu spesialisasi yang pekerjaan klinis dan ketrampilan tangannya seimbang, “jadi semacam gabungan 3H: head, heart, hand” tuturnya.
Selain itu, untuk perempuan, khususnya yang berkeluarga, waktu untuk berkumpul dengan keluarga juga relatif banyak. Karena pekerjaannya tidak seberat prodi mayor, masih bisa memilih antara klinis aja atau klinis plus segala macam tindakannya (baca:operasi).
Ngga cuma buat perempuan, ternyata dokter laki-laki seperti dr. I Made Satya dari UNAIR juga tertarik dengan prodi Mata. Alasannya, karena banyak tindakan yang bisa dilakukan tanpa melibatkan terlalu banyak darah. Bahkan dalam sehari, tindakan dalam lingkup spesialisasi Mata bisa mencapai 5-10 tindakan, misalnya operasi katarak.
Prospek Cerah?
“Bagi beberapa orang, kebutaan nampak lebih menakutkan daripada meninggal,” menurut dr. I Made Satya, “Selama matahari masih bersinar cerah, orang-orang bertambah tua, maka pasien katarak akan selalu ada”. Bahkan, menurut dr. Ihsan Indra Utama, Sp.M (JEC Purwokerto), pencapaian pencegahan buta karena katarak yang menjadi target dokter mata dari dulu masih belum tercapai.
Ngga cuma katarak saja, pasien dengan gangguan visus lain juga jumlahnya masih banyak, padahal, “Pasien dengan gangguan visus berat pasti akan mempengaruhi produktivitasnya, minimal activity daily living-nya pasti terganggu” kata dr. Retna, misalnya pada myopia berat. Saat ini banyak orang memanfaat operasi lasik untuk menangani gangguan visus mereka. Atau yang lebih praktis, saat ini banyak orang berbondong-bondong pake lensa kontak, padahal belum tentu tau “cara make yang bener”. Nah, kalo terus ada gangguan, pasti langsung cari dokter kan?
Selain jumlah pasien dan demand dokter mata yang masih tinggi, peningkatan teknologi di bidang ophtalmologi ini ternyata banyak membantu para dokter spesialis mata, sehingga operasi yang rumit bisa selesai dengan lebih mudah dan lebih cepat, misalnya pada operasi katarak atau lasik (bayangkan, bisa operasi cepat dan banyak, berarti…..-isi sendiri ya-…….).
Dan sebagian besar penggunaan alat-alat teknologi baru ini sudah masuk ke dalam kurikulum spesialis mata jaman now. Jadi, setelah lulus tinggal bekerja di RS, atau klinik mata (untuk tindakan operasi) atau bisa praktek pribadi (tanpa tindakan operasi).
Trus, gimana dengan prospek kerjanya? Kalo pada jadi dokter mata, RS/klinik penuh dong ntar? Kenyataanya, “di kota-kota kecil, dokter mata umumnya baru ada 1-2 orang saja, belum sebanding dengan jumlah populasi penduduknya. Sementara di kota besar yang banyak dibutuhkan adalah sub-spesialis mata”, menurut dr. Indra, Sp.M.
Dari kacamata manajemen rumah sakit pun, ternyata spesialis mata memiliki prospek tersendiri, apalagi di era B**S. Menurut dr. Nur Adini R, MM (RS Swasta, Jawa Tengah), berbeda dengan kebanyakan tindakan/operasi lainnya, rumah sakit cenderung tidak mengalami kesulitan dengan klaim di bidang spesialisasi mata, “Nggak bikin nombok”. Hal ini tentu saja angin segar untuk RS maupun dokter. Selain itu, lingkup kerja spesialis mata tidak pernah berpotongan dengan lingkup kerja spesialis lain, jadi relative lebih “aman” dari konflik.
Tapi….
Nah, untuk yang sekarang mulai tertarik ke spesialisasi ini, sebaiknya siap-siap, karena ngga segampang itu, Fergusso.
Yang pertama, kamu harus rajin belajar tentang mata. Selain itu, sebaiknya belajar membiasakan diri dengan alat-alat mata, karena spesialis mata ini bisa dibilang tool dependent. Semakin kita sering menggunakan alat-alat mata, maka akan semakin terampil.
Saran dari dr. Retna: sering pegang dan latian periksa ke pasien, misalnya dengan ikut magang di poli/klinik/RS Mata, atau jadi aspen konsulen, “Itu bermanfaat banget, walaupun lelah, tapi insyaAllah berkah”.
Sementara dr. I Made Satya berpesan untuk siap-siap kocek membeli berbagai macam alat pemeriksaan mata minimal seperti katarak set, oftalmoskop, tonometer, dan sebagaimacamnya. Alat-alat ini penting untuk menunjang pendidikan selama PPDS lho.
Soal harga? Jangan ditanya. MAHAL. Selain uang sekolah, uang hidup, uang alat juga mesti jadi pertimbangan termasuk alat untuk praktek pribadi kedepannya.
Jadi, gimana temen-temen. Tertarik #jadippds mata? Well, the choice is yours!