#maujadippds: Patologi Anatomik! Not just about tissue and cell
Kalo temen-temen masih menganggap prodi minor itu “minor”, sekarang coba kita lihat prodi yang banyak dipandang sebelah mata, tapi ternyata keren. Mau tau? Cekidot gan!
Yang perlu kalian ketahui tentang Patologi Anatomik
• Ada 11 center se-Indonesia! Ada UNAND, UNSRI, USU di Sumatera, ada UNHAS di Sulawesi, UNUD di bali, dan hamper semua center di Jawa kecuali UNS. Prodi ini termasuk prodi minor yang banyak centernya lho. Cek tabelnya disini.
• Lama Studi rata-rata 6-8 semester! Diantara center-center yang tim #maujadiapanih tau, ternyata cuma UNPAD aja yang durasinya 8 semester. Mayoritas 7 semester sementara USU dan UNDIP 6 semester.
• Biaya Studi: SPP 9-15jt/semester dengan sumbangan terbesar 65 juta. SPP paling murah ada di UGM (9) dan UB (~9) sementara USU, UI, dan UNUD (15). Sumbangan termahal ada di UB (65) dan termurah ada di UNAIR, UNPAD, dan UNDIP (15). Tidak termasuk UGM yang menggunakan system UKT dan USU dengan system DKA. Sementara UNAND, UNSRI, dan UNHAS kami tidak mendapat informasinya.
Kenapa prodi patologi anatomik?
Patologi anatomik bukan sekedar ngeliat jaringan, sel, dan slide atau preparat aja seperti yang kita tahu sewaktu di tingkat S1. Di jaman now, pemeriksaan PA saat ini menjadi bagian dalam upaya penegakan diagnosis sehingga dibutuhkan oleh klinisi di berbagai lapisan, seperti yang diutarakan dr. Arini Rizky W, PPDS UGM. Selain kebutuhan dokter PA di Indonesia yang ternyata masih tinggi, ilmu PA sendiri bisa dibilang menarik. Sementara banyak orang menilai dokter PA hanya menilai “jaringan” saja, menilai preparat saja, kenyataanya dokter PA melihat pasien secara holistic, “contohnya saat melaksanakan AJH (Aspirasi Jarum Halus) / FNAB (fine needle aspiration biopsy). Sebelum melakukan pemeriksaan tersebut, dokter PA akan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, meninjau penunjang lain seperti hasil lab dan radiologi. Setelah itu baru menggabungkannya dengan hasil pemeriksaan AJH” ujar dr. Arini
Hal ini juga didukung oleh dr. David Sitinjak, PPDS UI. Bekerja sebagai dokter PA ternyata banyak keterampilan psikomotor misalnya dalam pemotongan jaringan dan autopsy klinik. Kasus PA juga tidak monoton, banyak kasus yang unik dengan tantangan tersendiri dimana dokter PA menggabungkan temuan klinik, makroskopik, dan mikroskopik seperti detektif. Secara pribadi, dr. David memiliki ketertarikan karena jadwal bekerja yang teratur, “Ada weekdays dan weekends, tanpa jaga malam, Cocok untuk dokter yang menyukai basic science tetapi tetap ingin menjadi spesialis” jelasnya. Baik dr. David dan dr. Arini pun sepakat bahwa dokter PA tidak bisa bekerja sendirian, umumnya bekerja dalam tim yang terdiri dari spesialis bedahh/medik/diagnostic lainnya.
Prospek Cerah?
Kalo temen-temen menilai dokter PA cenderung “nganggur”, cenderung “tidak prospek”, maka temen-temen belum mengenal kiprah dokter PA dan kemajuan sistem kesehatan kita. Pelayanan dokter PA bisa dibilang luas, mulai dari histopatologi, sitopatologi, immunohistokimia, frozen section, diagnostic molekuler. Selain itu, dokter PA juga tergabung dalam multidisciplinary team (misalnya konferensi kliniko-patologik, tumor board, tim transplantasi liver-ginjal dan sebagainya). Apalagi di era system Kesehatan jaman now, dokter PA semakin “sibuk”. Kenapa? “Karena konfirmasi diagnosis di era universal coverage memerlukan hasil PA,” jelas dr. Arini. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dr. David, bahwa untuk dapat diklaim B**S, untuk setiap kasus keganasan harus ada diagnostic patologis. Bayangkan dengan banyaknya kasus keganasan di jaman now.
Kemajuan teknologi saat ini juga membuat dokter PA memiliki peran yang besar terhadap terapi keganasan, “Peran masa depan dokter PA adalah sebagai bagian integral dari onkologi yang berbasis personalized medicine. Misalnya pada pasien adeno carcinoma paru. Setelah tegak diagnosis kita akan cek status mutasi gen-nya, ini nanti akan mempengaruhi terapi ke depannya. Jadi sekarang dengan penyakit yang sama bisa jadi berbeda beda terapinya pada tiap orang,” jelas dr. Arini.
Selain itu, seorang dokter PA memiliki banyak fungsi, mulai dari Practicing pathologist yang bertugas menjawab kasus histopatologi, baik di rumah sakit maupun di laboratorium swasta, sampai ke academic pathologist yang berfungsi mengajar, memimpin lab riset, dan sebagainya, “sementara di Indonesia baru ada sekitar 600 SpPA,” jelas dr. David. Bagaimana dengan di daerah? Ternyata, seorang dokter PA dapat bekerja baik di daerah maupun di kota selama rumah sakit atau tempat bekerja memiliki laboratorium / instalasi patologi anatomik.
Tapi….
Untuk temen-temen yang berminat dengan Patologi Anatomik, temen-temen harus mulai membaca kembali buku-buku selama perkuliahan karena cakupan PA sangat luas, “Dari histologi normal, patologi hingga buku-buku terkait cabang ilmu kedokteran lainnya,” jelas dr. Arini. Untuk temen-temen yang menyukai penelitian, dr. Arini sangat merekomendasikan prodi PA, karena akan sangat didukung baik oleh departemen maupun para konsulen. Sedangkan dr. David punya pesan-pesan tersendiri. Pertama, teman-teman harus suka dulu dengan ilmunya dan harus suka membaca, “Keterampilan diagnosis tidak hanya belajar visual tetapi juga harus tahu ilmu di belakangnya, termasuk biologi molekuler”.
Khusus untuk yang ingin masuk di UI, dr. David menjelaskan bahwa alur penerimaannya cukup unik, “akan ada periode ‘magang’ atau sejenis ‘trial class’ selama seminggu sebelum ujian. Peserta trial class akan ikut melihat semua kegiatan yang ada di Departemen PA FKUI dari pelayanan lab sampai kegiatan akademik, dan materi ujian adalah yang disampaikan selama periode tersebut”. Selain itu, MMPI dan wawancara juga menjadi komponen sangat penting di seleksi ppds, “Be yourself, introduce yourself well” kata dr. David.
Untuk temen-temen yang merasa sewaktu S1 ngga ngerti PA sama sekali, jangan khawatir. Menurut dr. David, itu bukan hambatan, “Hampir semua PPDS PA belajar dari nol, mulai dari mereview histologi normal, belajar dasar patologi”. Jadi jangan khawatir!
Sekarang, tertarikkah kamu?
Maaf dok, mau tanya. Untuk PA FKUI. Surat rekomendasi, harus dari RSUD, atau bisa dari RS Swasta dok? Adakah perbedaan penilaian antara rekomendasi dari RSUD atau RS swasta dok?
Tidak ada keterangan harus dari RSUD, tapi mengingat sekarang era pemerataan spesialisasi, sepertinya daerah pengirim akan lebih memiliki bobot.