Kiprah Dokter di dalam Forum Ekonomi Internasional G20
”Di isu ketiga, kita membahas bagaimana negara-negara utara (Global North) dapat melakukan kerja sama dengan negara-negara berkembang di selatan (Global South) terutama mengenai transfer teknologi terbaru, misalnya teknologi mRNA” kata dr. Ivan.
Kenyataannya, permintaan untuk bekerja sama tidak dapat disetujui dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan. “Misalnya, WHO sudah memiliki program teknologi transfer mRNA dengan roadmap untuk diseminasi ke negara-negara lain, namun pada prosesnya perusahaan dengan teknologi mRNA batal membagikan teknologinya kepada WHO” jelasnya lagi.
Diskusi yang alot pun juga terjadi terkait dengan kesiapan medis menghadapi pandemi. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kesulitan mendapatkan medical countermeasures, termasuk vaksin, obat-obatan, bahkan masker.
“Saya merasakan bahwa pemerintah Indonesia berprinsip sangat kuat untuk menjadi negara yang mandiri dan tidak bergantung pada belas kasihan pihak lain, tapi tentu ada kesulitan yang membutuhkan negosiasi dan kerja sama dengan negara lain juga” ujarnya.

Kenyataannya, permintaan untuk bekerja sama tidak selalu dapat disetujui dengan mudah. Misalnya, dalam rangka berdikari dalam produksi vaksin, menjadikan setiap negara produsen vaksin juga mempunyai kekurangan.
“Apakah artinya suatu negara bergantung pada market lokal penduduk mereka saja? Bagaimana dengan vaksin nasionalisme? Bagaimana menjaga kualitas produksi vaksin yang diproduksi di setiap negara? Bagaimana menjamin bahwa manufaktur vaksin tersebut dapat tetap beroperasi walaupun sedang tidak dalam keadaan pandemi? Ada banyak pertanyaan yang penting untuk dijawab terlebih dahulu” dr. Ivan menjelaskan.
Sama halnya dengan integrasi program imunisasi nasional di tiap negara. Ada banyak pertanyaan tentang komitmen tiap negara, siapa yang akan membiayai investasinya, kesiapan SDM untuk manufaktur vaksin dengan teknologi mutakhir seperti mRNA, dan sebagai macamnya.
Selain itu, masih banyak tantangan terkait vaksin yang belum terjawab, misalnya kebutuhan mapping kemampuan R&D, manufaktur vaksin setiap negara G20, kompetisi bahan baku (raw material) vaksin, hingga pertanyaan seperti: Apakah kerjasama ini justru menciptakan kompetisi yang tidak sehat antarnegara?
Masih ada segudang pertanyaan lainnya yang muncul sepanjang tahun hanya untuk membentuk sebuah kerjasama lintas negara. Menurutnya, “pusing, tapi seru!”
Apa yang dipelajari dari event G20 tersebut?

Menurut dr. Ivan, ada beberapa poin menarik yang ia dapatkan dari pengalamannya menjadi TO di ajang G20.
1. Bahwa pemerintah kita bekerja sangat keras.
“Menurut saya, menjadi PNS itu sangat melelahkan. Saya melihat pejabat Kemenkes yang bekerja bersinggungan dengan saya, bisa mulai bekerja dari jam 7 pagi dan selesai tengah malam. Setiap hari” jelas dr. Ivan.
Bahkan seringkali pejabat tersebut diminta update ke pimpinan di hari libur dan di jam yang sangat tidak bersahabat. “Kadang ingin mengeluh, tapi kalau dilihat lagi, saya bekerja pun sebenernya beliau pun bekerja toh. Jadi adil-adil saja” tambahnya.
2. Global health diplomacy sangat kompleks.
Hal yang secara tertulis terlihat sederhana, ternyata sangat sulit direalisasikan. “Misalnya, kita kekurangan vaksin, lalu mau minta ke siapa? Harus kemana, lewat jalur apa, bagaimana supaya negara saya diprioritaskan?” ungkap dr. Ivan.
Belum lagi kita harus tau posisi tiap negara terhadap tiap isu. Saat kepresidenan G20 Indonesia pun, muncul masalah mengenai Rusia dan Ukraina yang menyebabkan proses sepanjang tahun sangat sulit untuk mendapat kesepakatan dari negara-negara G20.
3. Pen is mightier than the sword.
“Melalui event G20 ini, akhirnya saya bisa melihat langsung bahwa apa yang tertulis, apa yang disetujui di tahun sebelumnya, dalam bentuk deklarasi misalnya, sangat mampu menentukan arah diskusi. Apa yang tertulis dan disetujui, sangat menentukan apa yang pemimpin dunia akan lakukan” ujarnya.
Coba bayangkan, jika tidak ada notulensi dan perkembangan formal yang tertulis mengenai perlunya “dana urunan” untuk pandemic, kita tidak akan melihat peluncuran Pandemic Fund yang berhasil mengumpulkan US $1.4 billion (sekitar Rp206 Trilyun) dari 24 donor dari event G20 ini.
Tidak hanya itu, berkat pengalamannya sebagai TO di ajang G20 ini, kini dr. Ivan berkesempatan untuk “melanjutkan” pekerjaannya melalui lembaga non-profit Tony Blair Institute (TBI) sambil mempersiapkan rencananya melanjutkan studi S2 di bidang Global Health Policy di London, UK.
Buat yang tertarik bekerja untuk WHO…

Bagi teman-teman yang tertarik bekerja untuk WHO, pendaftaran umumnya dibuka secara publik melalui website WHO. Kita dapat mendaftarkan profil diri kita (general profile) dan memilih bidang-bidang yang kita minati, sehingga ketika ada lowongan yang sesuai dengan profile, kita akan mendapatkan email.
Selain itu, menurut dr. Ivan, WHO Indonesia juga aktif posting lowongan pekerjaan di LinkedIn mereka. Jangan lupa untuk cek lewat LinkedIn juga ya!
Jadi, adakah diantara teman-teman yang tertarik bisa bergabung di forum internasional?