Pra Muktamar IDI XXXI Seri 2: Tantangan dalam Pendidikan Kedokteran
Hari Kamis tanggal 27 Januari yang lalu, IDI menggelar kegiatan Pra Muktamar IDI XXXI seri 2 bertajuk Disrupsi Profesi Kedokteran yang salah satunya membahas tentang Pendidikan Kedokteran.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan secara daring ini 4 pembicara yang merupakan dokter, guru besar dan dosen di Universitas terkemuka di Indonesia ini memaparkan tantangan dalam Pendidikan Kedokteran saat ini. Apa saja itu?
Daftar isi
Persaingan Global menyambut MEA
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau yang disebut Asean Economic Community (AEC) adalah sebuah bentuk perdagangan bebas yang dilakukan oleh negara Asean, dimana salah satu komoditinya adalah healthcare, termasuk alat dan jasa kesehatan.
Dengan adanya MEA dalam bidang kesehatan, maka tenaga medis di wilayah ASEAN bisa bekerja antar negara. Hal ini menjadikan dokter Indonesia harus mampu bersaing secara global.
Menurut Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, MPH, Sp.OG (K), untuk mendapatkan kualitas dokter yang bersaing di pasar bebas, maka ada beberapa poin dalam pendidikan kedokteran yang penting:
- Translation from bench to bedside, pentingnya penguatan biologi dasar atau biomedik. Karena perkembangan teknologi kedokteran akan selalu kembali dari dasar ilmu biomedik, yang kemudian diterapkan ke pasien
- Literacy on data, termasuk bioinformatika, teknologi dan human concept
- Interprofesional collaboration, kolaborasi dokter dengan profesi lain, termasuk para ahli biologi non-dokter.
- Technological innovation
Transformasi Kedokteran berbasis teknologi
Semakin majunya teknologi di bidang kedokteran perlu diimbangi dengan kemampuan para dokter menguasai teknologi. Sehingga diperlukan transformasi pendidikan berbasis teknologi.
Misalnya dalam kondisi new normal saat ini, penggunaan teknologi untuk perkuliahan bahkan untuk clerkship perlu dikembangkan. Melaksanakan pendidikan dengan format pendidikan digital perlu dikembangkan lebih lanjut.
Menurut Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP (K), transformasi pendidikan ini juga harus sejalan dengan transformasi pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan berbasis digital, big data dan machine learning perlu dikembangkan untuk mengikuti perkembangan dunia.
Selain pelayanan berbasis teknologi, dari sisi pendidikan, dr. Anwar juga menegaskan pentingnya basic science untuk mengembangkan teknologi. Hal ini menjadikan peran ahli bioinformatika cukup penting.
Peran Kolegium dan Reformasi UU DIKDOK dalam Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran
Salah satu poin terpenting yang disampaikan baik oleh Prof. Dr. dr. Ilham Oetama Marsis, Sp. OG, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp. KK(K), dan juga dr. Anwar, transformasi pendidikan perlu dimulai dari reformasi UU Pendidikan Kedokteran.
Sebab sistem pendidikan spesialis yang berbasis universitas diatur oleh UU tersebut. Untuk dapat mendorong reformasi tersebut diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, Kemendikbud, AIPKI, KKI, hingga kolegium.
Menurut dr. Anwar, penyelenggaraan pendidikan spesialis dan subspesialis perlu peran dari kolegium. Dimana penyelenggaraan pendidikan tersebut sebenarnya bisa diampu oleh kolegium dengan konsep hospital-based. Namun hingga saat ini kolegium masih dianggap kurang terlibat.
Dalam usulan RUU Dikdok 2022, pasal tentang penyelenggaraan pendidikan subspesialis dengan diampu oleh kolegium sudah masuk di dalamnya. Sayangnya, belum untuk pendidikan spesialis.
Prof. Hardyanto menambahkan bahwa untuk mengejar kekurangan dokter spesialis, maka selain pengadaan pendidikan spesialis di bawah kolegium, percepatan durasi pendidikan kedokteran seperti di Amerika perlu dipertimbangkan, dengan kurikulum yang sesuai.
Selain itu, sistem pendidikan kedokteran yang meletakkan posisi dokter setara dengan KKNI level 7 sebaiknya dirubah menjadi level 8 (setara Magister) seperti yang diterapkan di luar Indonesia. Sehingga dapat mempercepat pertumbuhan dokter dengan kualifikasi level 9 atau setara doktoral.
Kekurangan Dokter Pengajar Basic Medical Science!
Dalam diskusi panel seri 2 tersebut juga disebutkan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi di era modern ini adalah kurangnya dokter pendidik dengan kualifikasi basic science.
Padahal perkembangan ilmu kedokteran biasanya berawal dari basic science. Bahkan para pemenang nobel umumnya adalah seorang basic medical scientist.
Hal ini berkaitan pada kurikulum kedokteran saat ini yang berbasis klinis. Sehingga pemahaman tentang dasar ilmu kedokteran dianggap kurang.
Kedepannya, diharapkan kurikulum biomedik dapat diterapkan lebih banyak pada pendidikan pre-klinis. Sehingga ada fondasi yang kuat.
Baik Prof Hardyanto dan dr. Anwar juga menambahkan bahwa dalam UU Dikdok yang baru perlu diusulkan perubahan pada UKMPPD. Dimana mahasiswa kedokteran nantinya bisa langsung mengejar master atau PhD tanpa harus menyelesaikan Koas maupun UKMPPD, sehingga mempercepat produksi dokter dengan kemampuan basic science yang baik.
Kesimpulan
Seiring dengan kemajuan jaman, maka kebutuhan di bidang pendidikan pun semakin meningkat. Diantaranya adalah kebutuhan untuk persaingan global. Sehingga diperlukan transformasi pendidikan terutama kearah digital.
Namun, transformasi ini perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk kolegium kedokteran, hingga pemerintah, melalui UU Pendidikan Kedokteran.
Kedepannya, diharapkan sistem pendidikan di Indonesia tidak hanya menghasilkan dokter berketrampilan klinis, namun juga memiliki keilmuan biomedik dasar yang baik.
Kalau menurut teman sejawat dokter muda, yang mana tantangan kalian?