Seperti apa rasanya jadi dosen kedokteran?
Siapa bilang jadi dosen itu boring, ngga keren? Baca dulu fakta dari dr. Sindhu Wisesa, PhD dosen Universitas Jenderal Soedirman yang pernah mengenyam pendidikan S1 di UGM dan memperoleh gelar PhDnya dari Kobe University, Jepang. Penerima beasiswa MEXT Jepang ini punya pandangan menarik tentang karir dosen jaman now yang ternyata sudah banyak berbeda dengan jaman dulu. Simak yuk!
Daftar isi
Kenapa jadi dosen?
Kalo kamu mengira dosen itu nganggur, kamu salah besar. Karena seorang dosen bisa sibuk banget, tapi bisa juga santai, “Dosen itu waktunya fleksibel. Bisa dibuat sibuk banget dan bisa dibuat santai” jelas dr. Sindhu Wisesa, PhD yang akrab dipanggil dr. Sesa ini. Inilah sebabnya kenapa banyak dokter perempuan yang sudah berkeluarga memilih profesi pengajar ini, karena lebih memungkinkan untuk mengatur waktu dengan keluarga.
Selain itu, profesi pengajar yang satu ini juga bukan profesi yang sembarang orang bisa. Karena tidak semua orang “cocok” mengajar. “Dosen cocok untuk yang suka mengajar, jadi dia bisa ganti-ganti style mengajar”. Gimana kalo dosennya ngga suka mengajar? Sudah pasti muridnya bakal ngga tertarik di kelas. Menjaga style mengajar agar lebih enak dan mudah dipahami para mahasiswa juga merupakan suatu seni dari profesi dosen yang ngga semua orang bisa punya lho!
Apakah dosen hanya mengajar?
Oh, tentu tidak. Selain mengajar, dosen bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya di bidang lain, misalnya menulis buku, praktek sebagai dokter umum, enterpreneur, dan sebagainya. Karena waktu yang fleksibel, maka dosen bisa menyesuaikan waktunya dengan kegiatannya dan bisa banyak berkarya, tergantung kemauan kita. “Ketimbang hanya jadi spesialis yang so-so aja, yang ngga serius, ya mending jadi dosen saja, dan berkarya” terang dr. Sesa.
Selain mengajar, dosen juga dapat melakukan penelitian. “Untuk yang suka meneliti, menjadi dosen akan membuka banyak peluang. Akan banyak kemudahan dan banyak link yang akan membantu,” dr. Sesa menjelaskan. Sebagai dosen, kita juga akan lebih mandiri dalam mengajukan grant untuk penelitian kita, tanpa bergantung pada departemen tempat kita bernaung.
Selain itu, semakin tinggi jabatan kita sebagai dosen, maka akan semakin tinggi bobot penelitian dibandingkan dengan mengajar. Misalkan seorang dosen asisten ahli memiliki proporsi 60% mengajar dan 40% penelitian, sementara lektor memiliki proporsi kebalikannya, begitu pula tingkatan profesor.
Bagaimana dengan prospeknya?
Selain mengajar, meneliti, dan berkarya, dosen dapat memperoleh insentif dari kegiatan di dalam maupun luar universitas seperti jaga ujian, menguji mahasiswa, membimbing, jadi panitia acara, dan sebagainya. Bahkan seorang dosen juga dapat mengajar di tempat lain sebagai dosen tamu. Kalau kita cukup “cekatan”, seorang dosen juga bisa menjadi bagian dari proyek strategis pemerintah.
“Kalau bicara soal gaji, jangan khawatir. Yang penting kembali ke tujuan awal, sampe secukup apa kita. Karena semakin besar pendapatan kita, artinya tanggungjawabnya semakin besar. Dan kita juga harus mengukur semampu apa kita” tegas dr. Sesa.
Menjadi dosen juga tentu saja akan membuka peluang untuk mengejar pendidikan lebih tinggi lagi. Peluang untuk melanjutkan ke jenjang S3 baik di luar maupun dalam negeri pun juga semakin besar termasuk dalam mendapatkan beasiswa lho!
Buat yang #maujadidosen, apa yang harus dilakukan?
Yang jelas mendaftar jika ada lowongan dosen yang dibuka. Tetapi, sebelum mendaftar, dr. Sesa menyarankan untuk “permisi” dulu dengan staf di bagian yang akan kita daftar. “Kadang kala dengan kita sowan atau permisi ke bagian, kita bisa dapat tawaran menjadi dosen kontrak”.
Selanjutnya, tinggal mempersiapkan persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar menjadi staf pengajar. Untuk teman-teman yang #maujadidosen dr. Sesa berpesan untuk sebisa mungkin menjadi PNS atau dosen tetap non-PNS, jangan bertahan di posisi dosen kontrak ya!
Jadi, ada yang tertarik #jadidosen?