Master in Neuroscience at Australian National University

master in neuroscience

Punya ketertarikan dengan sistem saraf? Pingin studi lebih dalam di bidang Neuroscience? Yuk tengok cerita dr. Dina Satriawan, M.Nsci(Adv) yang pernah mendalami bidang Neuroscience di Australian National University (ANU). Seperti apa pengalamannya?

Mengapa memilih mendalami Neuroscience di ANU?

Ternyata dokter yang saat ini bekerja sebagai dosen Biomedicine di Indonesia International Institute for Life Science (I3LS) ini memang memiliki ketertarikan yang lebih terhadap otak dan cara kerjanya, bahkan sejak kecil!

Untuk semakin memperdalam skill dan untuk mempelajari research di bidang otak dan saraf, dokter yang akrab disapa dr. Dina ini melanjutkan studinya ke Australia, “karena saya ingin melanjutkan studi dan punya pengalaman sekolah di negara maju yang bidang neuroscience-nya sudah berkembang”. 

Tidak tanggung-tanggung, dr. Dina memilih ANU yang merupakan universitas nomer satu di Australia. “Eccles Institute of Neuroscience di ANU merupakan tempat di mana John Eccles, neurophysiologist pemenang Nobel, menemukan mekanisme transmisi saraf,” jelas dr. Dina.

Selain itu, menurut dr. Dina, kota Canberra merupakan salah satu kota di dunia yg paling nyaman untuk ditinggali, apalagi untuk pelajar. Karena suasananya yang tenang, damai, walaupun tidak seramai dan se-metropolitan kota Sydney.

“Jarak Canberra dan Sydney juga hanya 3 jam, jadi bisa berkunjung ke Sydney kapanpun. Karena Sydney memang lebih banyak hiburannya” ujar dr. Dina.

Bagaimana proses studi di ANU?

Program Master di ANU ada beberapa jenis, full coursework, full research atau parttime. “Saya memilih Master of Neuroscience (Advanced) di ANU dengan durasi 2 tahun, fulltime, di mana 1 tahun terakhir digunakan untuk penelitian dan menulis thesis” ujar dr. Dina.

Baca juga  Pentingkah seorang dokter mengambil gelar Magister?

Diakui dr. Dina, suasana belajar mengajar di ANU sangat mendukung, “Hubungan dosen dengan mahasiswa sangat egalitarian, supervisi juga balance antara memberikan guidance dan memberikan space untuk lebih mandiri”. 

Selain itu, lingkungan kerja untuk penelitian juga sangat diverse tapi tetap friendly. Apalagi didukung dengan fasilitas laboratorium yang sangat lengkap dan modern.

Bagaimana prospek kerja setelah mengambil Master?

Menurut dr. Dina, bidang neuroscience di Indonesia masih belum begitu berkembang, sehingga masih sulit menemukan ahli atau profesi yang spesifik bertitel “neuroscience”. Walaupun sebenarnya lahan kerja yang tersedia untuk skill yang telah dipelajari lumayan banyak. 

Misalnya menjadi peneliti di perusahaan farmasi, atau institut penelitian. Tidak menutup kemungkinan juga untuk menjadi dosen biomedis, kedokteran, bioteknologi, dan sebagainya. 

“Saya sendiri awalnya adalah klinisi. Setelah selesai studi neuroscience ini saya jadi punya tambahan kemampuan untuk menjadi dosen dan peneliti, tergantung pada bidang Neuroscience yang dipelajari apakah fundamental neuroscience, behavioral neuroscience, atau neuroinformatics” ujar dr. Dina.

Seorang lulusan master pun akan tetap bisa bekerja praktek klinis. Bahkan, diakui dr. Dina, studi master-nya juga bermanfaat untuk prakteknya. 

Studi master membantunya membentuk mindset untuk senantiasa belajar, sehingga dirinya kini lebih kritis dalam membaca artikel kesehatan, dan mengupdate ilmu dengan penelitian terbaru, “karena saat di S1 kedokteran, kemampuan meneliti kurang diasah” ungkap dr. Dina.

Apa suka dan dukanya di ANU?

“Yang jelas sukanya adalah kita bisa belajar banyak hal baru, bisa berteman dengan banyak orang dari berbagai negara, juga tinggal di luar negeri” ujar dr. Dina. 

Walaupun terdapat tingkat kesulitan yang berbeda dalam belajar yang membuatnya harus begadang, ditambah seringnya menghadapi kegagalan ketika eksperimen penelitian, namun rasa duka ini tidak ada apa-apa dibanding dengan rasa suka yang dialami oleh dr. Dina.

Baca juga  Magister Ilmu Biomedik: Kedokteran Molekular, Kayak apa sih?

“Apalagi di sana kita bisa eksplor Australia, mengenal orangnya, budayanya, kotanya, alamnya, sistem pendidikannya, sampai ke sistem transportasinya” tambah dr. Dina.

Buat yang ingin mengikuti jejak dr. Dina, apa tips and trick-nya?

“Dari segi pelajaran, menurut saya ngga lebih susah atau berat dibanding pelajaran kedokteran secara umum, tapi yang biasa jadi kendala adalah bahasa inggris” jelas dr. Dina. 

Berdasarkan pengalamanny, banyak teman-teman Indonesia yang jago speaking, reading, dan listening, tetapi masih kurang dalam menulis atau writing, “Padahal pada jenjang ini banyak tugas menulis. Jadi kalau bahasa inggris-nya lebih lancar akan lebih mudah mengikuti”.

Namun teman-teman tidak usah takut, karena orang Indonesia ternyata ngga kalah bersaing dengan international student lainnya. Yang pasti dr. Dina berpesan untuk selalu open minded, mau mencoba hal baru, dan mau keluar dari comfort zone

“Karena master itu relatif singkat waktunya, kita harus bisa get the most out of it, jangan hanya bergaul dengan orang Indonesia aja, jangan cuma belajar terus. Sering-sering ikut kegiatan kampus dan jalan-jalan juga” pesan dr. Dina.

Kalau kamu, tertarik studi di ANU?

Leave a Reply