Being a Health Economist: another pathway for doctor
Menjadi dokter klinis, akademis, struktural, PNS pasti sudah kenal. Tapi bagaimana dengan jalur karir sebagai Health Economist? Pernah dengar?
Yuk sekarang kita cari tahu lebih dalam dari dr. Anedya Niedar, AAK, seorang praktisi Health Economist yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 bidang Kebijakan Pembiayaan Kesehatan & Manajemen Asuransi Kesehatan di FKKMK UGM
Daftar isi
Apa itu Health Economist?
Sesuai namanya, health economics atau ekonomi kesehatan adalah aplikasi ilmu ekonomi di sektor kesehatan. Di bidang ini, berbagai aspek di industri kesehatan diterjemahkan secara objektif dan terukur ke dalam perhitungan keuangan; baik itu sebuah penyakit, terapi yang bersifat farmakologi maupun non farmakologi, prosedur kesehatan maupun alat-alat kesehatan.
Hal ini akan sangat membantu dalam proses decision making di industri kesehatan sehingga menjadi lebih efektif dan efisien serta bisa menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan kesehatan bagi para stakeholders.
Selain itu, melalui health economics, dampak suatu penyakit/terapi/prosedur kesehatan akan dikuantifikasikan melalui nilai uang dan disampaikan dengan bahasa yang lebih umum sehingga orang awam akan lebih mudah memahami.
Bidang juga ini meliputi banyak hal, antara lain : pembiayaan kesehatan, analisis supply dan demand pelayanan kesehatan, penilaian teknologi kesehatan, sampai kebijakan pelayanan kesehatan.
Mengapa dokter memilih bidang health economics?
“Awalnya sama sekali tidak ada bayangan berkarir di bidang ini” ujar dokter yang sudah berpraktek menjadi dokter umum di beberapa RS selama 8 tahun dan sangat menikmati interaksinya dengan pasien.
“Namun kewenangan klinis dokter umum yang terbatas, jam jaga yang panjang dan melelahkan lama-lama membuat saya merasa bosan dan tidak ada tantangan lagi” tambah dr. Anedya.
Selama bekerja di RS, dirinya sudah mencoba meng-explore berbagai opsi bidang spesialisasi kedokteran tapi tidak menemukan bidang spesialisasi yang cukup menarik dan sesuai dengan minat diri juga tujuan hidup jangka panjang : ingin punya work-life balance, kerja di jam kerja yang normal, tidak perlu jaga malam dan jaga di weekend maupun hari libur.
Namun, pengalaman dr. Anedya membantu RS tempatnya bekerja ketika program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan ternyata membawa pengalaman tersendiri.
“Saat itu banyak sekali RS yang mengalami permasalahan administrasi klaim BPJS sehingga menyebabkan kerugian finansial, termasuk RS tempat saya dulu bekerja” ujarnya.
Dr. Anedya yang kemudian diminta oleh direktur RS untuk membantu proses administrasi klaim BPJS dengan menjadi medical casemix manager, ternyata justru belajar banyak tentang perbaikan proses coding dan manajemen klaim agar lebih efisien, yang membuatnya berhasil membantu RS menyelesaikan klaim BPJS yang macet selama 4 bulan.
“Setelah dianalisis, tak disangka-sangka ternyata perbaikan yang saya lakukan membantu ‘menyelamatkan’ cashflow RS hampir senilai Rp 24 Miliar lho!” jelas dr. Anedya
Sejak saat itu dr. Anedya menemukan passion-nya, “jadi excited dan merasa tertantang ingin belajar lebih banyak tentang bidang asuransi kesehatan”.
Bagaimana proses pendidikan seorang health economist?
Untuk jadi health economist ternyata tidak harus berlatar belakang dokter, namun harus memiliki pengalaman di bidang kesehatan agar mempunyai gambaran tentang permasalahan kesehatan yang akan dievaluasi.
“Saya mengambil sertifikasi Ajun Ahli Asuransi Kesehatan dari PAMJAKI, dilanjutkan dengan Ahli Asuransi Kesehatan. Masing2 terdiri dari 5 modul, dan dilaksanakan secara rutin di berbagai kota di Indonesia. Pembelajaran modul dan ujian untuk mendapatkan sertifikasi tersebut dapat dilakukan secara online, jadi bisa disambi bekerja” jelas dr. Anedya.
Sertifikasi ini ternyata penting untuk memahami dasar-dasar dari asuransi kesehatan dan bermanfaat apabila ingin bekerja di industri asuransi, baik di BPJS maupun Asuransi Komersial lainnya.
Mengambil S2/S3 di bidang ekonomi kesehatan juga penting menurut dr. Anedya, karena S1 Kedokteran tidak mengajarkan materi ini.
“Di luar negeri banyak sekali universitas yang menawarkan program Master maupun PhD di bidang Health Economics. Sayangnya, hanya ada 2 center pendidikan yang mempunyai peminatan S2-S3 khusus di bidang ekonomi dan pembiayaan kesehatan, yaitu di Universitas Indonesia & Universitas Gadjah Mada” tambahnya lagi.
Bagaimana dengan prospek kerjanya?
Seorang health economist ternyata bisa berkiprah di berbagai bidang, seperti bidang akademik (dosen&peneliti), di bidang asuransi (sebagai eksekutif/manager di perusahaan asuransi, baik BPJS maupun asuransi kesehatan komersial lainnya), menjadi PNS di Kementerian Kesehatan, khususnya di direktorat Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) hingga menjadi konsultan di Industri Kesehatan & Farmasi (konsultan Health Economics & Outcomes Research (HEOR)).
Dr. Anedya sendiri sebagai health economist saat ini aktif mengerjakan proyek penelitian tentang efisiensi tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan kinerja pelayanan kesehatan primer di Indonesia bersama Monash University, Australia, bergabung dalam forum Young Health Economist Indonesia dan menjadi salah satu penulis Modul Ekonomi Kesehatan Indonesia yang diprakarsai oleh USAID dan ThinkWell.
Menurut dr. Anedya, dengan diterapkannya JKN, sistem kesehatan di Indonesia dituntut untuk semakin efisien, sehingga ilmu ini akan sangat diperlukan kedepannya. “Bidang health economics masih terhitung baru dan sangat sedikit ahlinya di Indonesia, jadi saya rasa ini peluang karir anti-mainstream yang cukup menarik” kata dr. Anedya.
Untuk yang ingin menjadi health economist….
Yang jelas teman-teman dokter perlu mengerti prinsip-prinsip dasar dari ilmu ekonomi, baik microeconomics maupun macroeconomics. “Tidak susah sebenarnya karena prinsip ilmu ekonomi itu banyak yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sangat bisa dilogika” jelas dr. Anedya.
Beberapa artikel populer dan media seperti The Economist, Financial Times direkomendasikan oleh dr. Anedya untuk memberi gambaran permasalahan ekonomi makro.
“Selain itu bisa juga baca beberapa basic textbook seperti : The Economics of Health and Health Care (Sherman Folland et.al.) & Health Economics (Rexford Santerre et.al.)” tambahnya lagi.
Selain itu, kita harus sering update dengan isu-isu terbaru terkait pembiayaan kesehatan baik di Indonesia maupun internasional.
Terakhir, jangan lupa perbanyak networking di bidang ini, misalnya dengan mengikuti konferensi ekonomi kesehatan seperti INAHEA (Indonesian Health Economics Association).
Ada yang tertarik?