#maujadippds: Penyakit Dalam! Spesialisasi sejuta umat!

Sekarang kita beralih ke prodi yang orang udah tahu dari jaman dulu, yg jadi impian sebagian dari bapak-ibu kita pastinya. Yang paling banyak dan gampang ditemukan di daerah-daerah sampai ke pelosok. Sekaligus prodi yang tim #maujadiapanih paling gampang nemu narasumbernya hehe. Sekarang kita akan bahas, kenapa temen-temen perlu bergabung di jajaran para spesialis penyakit dalam.
Nah, sebelumnya, kita bakal kasih beberapa fakta yang patut diketahui sebelum masuk prodi ini nih:

- Hanya UNRI saja center PPDS yang tidak punya Prodi Penyakit Dalam! Makanya dokter spesialis penyakit dalam paling gampang ditemukan di mana-mana. Nggak percaya? Cek tabelnya disini.
- Lama Studi 8-10 semester! Standar lah ya, 4-5 tahunan
- Biaya Studi: SPP 6-24,5jt/semester dengan sumbangan mencapai 62 juta. Dibandingkan prodi mayor lainnya, penyakit dalam ini biayanya termasuk murah lho. SPP mulai dari 6 (UNS), 9+ (UB), 10 (UNAIR, UNSYIAH), dengan yang tertinggi 19,5 (UNPAD), sisanya ada diantar 12,5 sampai 18 juta. Untuk sumbangan, tertinggi dipegang UNS (62), diikuti UB (40) dan UNAIR (30). Tidak termasuk universitas yang memberlakukan UKT (UNUD, UGM) dan sistm DKA (USU—fixed 7 juta)
Kenapa prodi penyakit dalam?
Siapa disini yang ngga merasa bahwa penyakit dalam alias interna adalah bidang yang paaaaaaaaaling sering kita temui ketika praktik baik di daerah maupun di kota? Hal ini lah yang menjadi alasan dari beberapa temen PPDS kita, seperti dr. Angga Maulidha, PPDS UNAIR, untuk melanjutkan pendidikannya ke spesialis penyakit dalam “mungkin sekitar 70% pasien non-bedah adalah pasien interna.”. Hal ini juga yang disampaikan dr. Imam Manggalya, PPDS UGM, tentang ilmu penyakit dalam, bahwa pasien penyakit dalam ada banyak, kasusnya pun juga luas.
Sementara dr. Canggih Dian H, PPDS UI, berpendapat bahwa di penyakit dalam, kita bisa belajar menganalisis suatu kasus seperti seorang detektif, “proses diagnosis sejak awal pasien datang itu sangat seru dan menyenangkan”. Proses diagnosis juga dilakukan dengan diskusi dengan senior dan konsulen yang terbuka, jadi semakin terasa menyenangkan. Di dalam koridor penyakit dalam, seorang dokter juga tidak hanya belajar menangani penyakit pasien, tapi juga belajar memahami kondisi sosial-ekonomi masing-masing pasien, “bisa jadi pelajaran hidup juga,” tambah dr. Canggih. Yang jelas, ilmu pnyakit dalam ini punya keterkaitan dengan keilmuan lain, sehingga menurut dr. Cherellia Dinar PA, PPDS UNS, “IPD mngajarkan kita untuk melihat suatu penyakit ga hanya satu bagian saja tapi secara keseluruhan,”
Prospek Cerah?
Ternyata, internist adalah spesialisasi yang prospeknya ngga banyak berubah, karena demand atau kebutuhannya yang tinggi setara dengan tingginya populasi di Indonesia. Sehingga di daerah pelosok sekalipun, kebutuhannya tetap tinggi.
“Meskipun itu rumah sakit kecil tipe C sekalipun, pasti butuh internist,” jelas dr. Angga. Biasanya, dalam satu rumah sakit memerlukan setidaknya 3 orang internist, misalnya 1 orang memegang bagian nefrologi, bagian gastroenterology dan seorang lagi memegang interna secara umum. Bahkan, menurut dr. Angga, beberapa rumah sakit kecil ada yang membutuhkan sampai 4 internist sekaligus.
Dr. Canggih yang mengaku berasal dari daerah pun sependapat, “di daerah saya, dokter penyakit dalam hanya ada satu orang untuk 3 kabupaten”. Untungnya, dokter penyakit dalam adalah salah satu spesialisasi yang tidak banyak membutuhkan alat diagnostic khusus, sehingga bisa bekerja di mana pun, termasuk di daerah pelosok. “internist modalnya pemeriksaan fisik dan anamnesa saja, yang lain sifatnya penunjang, jadi, simple dan ngga ribet kerjanya” jelas dr. Canggih.
Dari sisi keilmuan, interna juga termasuk cabang keilmuan yang memiliki banyak subspesialisasi, “total ada 11 divisi yang semuanya penting” jelas dr. Cherel. Mulai dari gastroenterohepatologi, endokrin, sampai nefrologi ginjal hipertensi.
Tapi….
Menjadi internist ternyata ngga segampang itu. Menurut dr. Canggih, seorang internist harus bisa bekerja dengan ikhlas, sebelum “nyemplung”, harus bener-bener suka dengan ilmunya dan bener-bener punya niat belajar dan mengaplikasikan prinsip long life learning. Selain itu, karena interna adalah spesialisasi yang banyak berhubungan dengan spesialisasi lain, “kalo punya relasi yang bagus dengan teman-teman department lain, akan mempermudah kehidupan PPDS kita” tambah dr.Canggih.
Di ranah keilmuan, menurut dr.Cherel, sebaiknya calon PPDS banyak mengikuti seminar/workshop di bidang penyakit dalam, apalagi jika penyelenggaranya adalah universitas yang dituju, “lebih bagus lagi kalau bisa magang di bagian, atau dengan konsulen, jadi bisa tau kondisi lapangan sekaligus minta rekomendasi untuk sekolah”. Selama pendidikan pun, dr. Canggih berpesan untuk kompetitif dalam memperbanyak tulisan publikasi selama program pendidikan.
“Untuk jadi seorang internist, kamu ngga perlu pinter, yang penting punya tanggung jawab, karena dengan rasa tanggung jawab terhadap pasienmu maka ilmu itu akan kamu cari dengan sendirinya,” pesan dr. Angga. Selain itu, attitude juga menjadi salah satu poin yang penting. Karena pintar saja tidak cukup. Pembawaan diri yang baik, sopan dan hormat pada guru-guru adalah salah satu kunci sukses menjadi PPDS interna menurut dr. Imam.
Terakhir, baik dr. Imam, dr. Canggih, dr. Cherel dan dr. Angga, semua sepakat bahwa menjadi internist memiliki resiko yang tinggi, sehingga diperlukan support system yang bagus juga agar proses pendidikan berjalan lancar dan nyaman.
Jadi, gimana gaes? Sudah siap jadi internist?