#maujadippds: Bedah Orthopaedi! Prodi bedah ter-favorit!

Nah, kali ini kita akan bahas prodi bedah yang paling favorit, apalagi kalau bukan Bedah Orthopaedi! Di survey yang mimin lakukan kemaren nih, ternyata bedah ortho keluar sebagai prodi bedah paling favorit! Sekarang yuk kita bedah ada apa dengan bedah ortho yang menarik hati ini??
Sebelumnya, yuk intip dulu info ini:
• Ada 10 center PPDS Bedah Orthopaedi: Semua center se-Jawa-Bali punya Orthopaedi, kecuali UNDIP. Sementara di luar pulau Jawa ada UNSRI, USU dan UNHAS yang punya prodi ini. Cek tabelnya disini.
• Lama Studi 9-12 semester: ada yang 9 semester (USU), paling lama 12 semester (UNS), dan sisanya 10 semester
• Biaya Studi SPP mulai dari 6-24,5 juta dengan sumbangan mencapai 132 juta! Orthopaedi tergolong prodi yang “mahal sumbangan”nya lho, termahal ada di UNS (132) diikuti UB (65). Sementara center lain berkisar antara 25-30jutaan (tidak termasuk center yang menggunakan sistem UKT seperti UNUD dan UGM, dan sistem DKA di USU). Untuk SPP, termurah ada di UNS (6), diikuti UB (~9) dan UNAIR (10), termahal ada di UNPAD (24,5). Center lain SPP-nya berkisar di 15-18 juta.

Kenapa prodi bedah Orthopaedi?
Kalo kamu berpikir bedah Orthopaedi adalah bedah tulang, maka kamu salah besar. “Ortho ga melulu soal nyembuhin tulang. Scope ortho itu luas banget semua tentang musculoskeletal dari non operatif, operatif, preventif sampe rehabilitatif. Jadi masih banyak banget yang bisa di explore,” jelas dr. Ferdiansyah Danang, PPDS UNAIR. Hal ini sejalan dengan dr. Muhammad Abdulhamid yang akrab dipanggil dr. Hamid, PPDS UNS yang semakin tertarik dengan ortho dan traumatology semenjak bergabung di Tim Bantuan Medis (TBM), “ortho bukan traumatology saja,” jelasnya. Sementara dr. Bram Swandika, PPDS UI, menambahkan bahwa memilih Orthopaedi berarti memilih untuk bisa mengubah disabilitas pasien menjadi kualitas hidup. Keren kan?
Tapi, kayanya bedah Orthopaedi ini identic dengan cowok-cowok? Memang, mayoritas “pemain”nya laki-laki, tapi ternyata Orthopaedi perempuan bukannya ngga mungkin lho. dr.Tabita Prajasari, PPDS UNAIR, sudah membuktikannya sendiri. “Perempuan di ortho tidak dibedakan. Jadi, gimana pun caranya harus memperkuat diri biar bisa operasi besar,” jelas dr. Tabita. Tapi jangan khawatir, alat-alat di bidang ortophedi sudah didesain sedemikian rupa jadi ngga terlalu berat buat sang operator. Belum lagi adanya alat pembantu seperti meja traksi yang bisa membantu proses operasi juga, “Intinya, tidak melihat gender, tapi melihat kuat atau ngga-nya si dokter”.
Prospek Cerah?
Sekali lagi, Orthopaedi ngga Cuma nge-handle tulang aja, “ngga cuma ngutak-atik tulang yang butuh kerja sedikit keras, tapi juga ada kerja halusnya, misalnya di soft tissue nya, seperti otot, tendon, ligamen, saraf, vascular,” jelas dr. Tabita, dan Orthopaedi juga tidak selalu tentang pasien KLL, “Bisa aja pasien datang karena degeneratif pengapuran, yang mana hampir semua orang kalo tua mengalami pengapuran”.
Buat yang suka dengan penelitian pun, ortho jaman now punya prospek yang cerah. Menurut dr. Bram, prospek ortho tidak hanya terbatas pada ruang operasi dan praktik poliklinik. Sebagai peneliti, besar kesempatan untuk mencipta alat baru, teknik operasi baru, serta ilmu baru. Salah satu yang lagi hot saat ini menurut dr. Tabita dan dr. Ferdi adalah pengembangan rekayasa jaringan, sehingga kerusakan seperti pada tendon dan saraf yang umumnya sulit diperbaiki, jadi bisa diperbaiki. Salah satunya menggunakan teknologi stem cell. Pemberian terapi adjuvant dari pengembangan produk-produk stem sel ini ternyata dapat menyempurnakan pengobatan misalnya pada rupture tendon parsial. Selain itu, penggunaan teknologi dalam arthroplasty dan juga Tindakan arthroscopy semakin menjamur di ranah Orthopaedi, menjadikan ranah ini ngga cuma berkutat sama tulang saja.
Nah, selesai Pendidikan, kerjanya gimana? Menurut dr. Tabita, pasien ortho itu ada dimana-mana, kerja di daerah memang bukan tidak mungkin lagi, yang penting ada koordinasi yang baik antara kita dengan para dokter-dokter sejawat di daerah. Di rumah sakit, klinik, atau di praktek pribadi (jarang) juga memungkinkan, selama di dukung pemeriksaan penunjang minimal seperti pemeriksaan radiologi. Sementara menurut dr. Hamid, masih banyak ahli Orthopaedi yang dibutuhkan di Indonesia.
Tapi….
Buat yang pingin masuk jadi PPDS Orthopaedi, dr. Hamid berpesan untuk banyak mencari informasi dari kakak tingkat yang lebih dahulu masuk. Nah, sekarang di dalam artikel ini, ada beberapa pesan dari “senior” nih. Mulai dari menguasai ilmunya, “Buku Salter dan Apley paling penting, dilanjutkan persiapan mental” menurut dr. Ferdi. Sementara menurut dr. Bram, yang utama adalah menunjukkan bahwa diri kita sangat menyukai ilmu Orthopaedi, “Daftarlah Orthopaedi ketika sudah yakin, karena sepanjang masa pendidikan kamu akan mempertanyakan sendiri seberapa jauh keyakinanmu dalam memilih spesialisasi ini,” jelasnya. Setali tiga uang, dr. Hamid juga menekankan pentingnya persiapan dari diri sendiri DAN juga keluarga.
Khusus untuk para perempuan, dr. Tabita punya pesan yang penting, “Jangan pernah berkecil hati karena kamu cewek ato gender minority, cukup dengan buktikan otak dan skill mu bisa bicara lebih dari mulutmu, dan orang akan lupa utk ngeributin gendermu apa”.
Gimana? Pingin jadi spesialis bedah Orthopaedi ngga?
kenyataanya ada diskriminasi di proses penerimaan.
contohnya ortho ui ngeliat ni anak muslim ato ga.
boleh dibuktiin pake statistik kalo ga percaya.
Ngga cuma di sana kak. Ada juga yang begitu di center lain dan prodi lain juga.
Inilah yg jadi alasan kenapa cari informasi tentang center/prodi tertentu sebanyak2nya menjadi penting.
Masalahnya, kita belum tentu bisa merubah sistem, tapi kita bisa merubah sudut pandang dan sikap kita