Kiprah Dokter di Badan Riset dan Inovasi Nasional
Siapa bilang dokter hanya bisa bekerja di ranah klinik? Kini dokter bisa lebih maju lagi dengan berkecimpung langsung sebagai dokter peneliti dan riset, seperti Dr. dr. Reza Y. Purwoko, SpKK, RSA, FINSDV.
Dokter spesialis dermatologi dan venereologi (Sp.DV) yang juga konsultan di Clinical Research Supporting Unit Indonesian Medical Education and Research Institute Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (CRSU IMERI FKUI), ternyata juga seorang peneliti ahli madya di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Seperti apa perjalanan Dr. Reza?
Daftar isi
Mengapa memilih jalur riset?
Sebagai Dokter yang telah berpraktek sejak lebih dari 25 tahun, Dr. Reza melihat ada permasalahan dalam kesehatan masyarakat yang bisa diselesaikan melalui riset.
“Saya melihat tingkat kemandirian obat dari hasil riset dan inovasi kearifan lokal Indonesia, masih kurang. Dari data, sekitar 70-95% bahan obat, bahan kosmetik maupun alat riset dan alat kesehatan bagi masyarakat Indonesia masih diimpor dari luar negeri, berupa teknologi riset negara lain” Dr. Reza menjelaskan.
Padahal, kekayaan hayati alam Indonesia adalah terbesar kedua di dunia setelah Brazil namun tingkat kesejahteraan petani, pekerja perkebunan, pekerja kehutanan, nelayan penghasil sumber daya maritim, dosen/peneliti, di Indonesia masih belum setinggi negara-negara lain.
“Permasalahan ini memerlukan pemikiran dan kerja peneliti ahli terapan yang berperan sebagai Dokter Spesialis,” ujar dokter yang mengambil program pendidikan Doktor di bidang ilmu Biomedik di FKUI dengan mengusung penelitian bahan tanaman obat kedelai asli Indonesia dan inovasi di bidang stem cell asal dari jaringan lemak kulit manusia.
Menurutnya, dengan bekerja sebagai peneliti baik di IMERI FKUI maupun di BRIN, beliau dapat menjalankan penelitian dan inovasi terintegrasi dalam mengatasi permasalahan terkait kemandirian dan ketahanan bahan obat. Salah satunya dengan menjadi pelaksana uji klinis obat maupun kosmetik pada manusia.
Seperti apa pekerjaan dokter di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)?
BRIN sebagai lembaga riset memungkinkan seorang klinisi berperan dalam riset dan inovasi baik berupa basic research hingga uji klinis.
“Bisa sebagai koordinator riset di lokasi-lokasi uji klinis,” Dr. Reza mengatakan. Karena riset tersebut dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai peneliti lain dengan variasi keahlian ilmu lain selain keterampilan klinis.
Selain itu, sebagai peneliti ahli madya di Pusat Riset Kedokteran Praklinis dan Klinis Organisasi Riset Kesehatan (PR KPK OR KES), BRIN, Dr. Reza juga bertugas melakukan riset dan inovasi itu sendiri.
“Termasuk penyusunan proposal, studi literatur, pengajuan izin etik penelitian, pencarian dana hibah, kolaborasi dengan berbagai mitra, pelaksanaan penelitian hingga pembuatan laporan berupa paper terbit di jurnal ilmiah, buku, prosiding, diseminasi seminar, dan pengabdian masyarakat lainnya,” jelasnya.
Selain itu, dokter juga diberikan porsi mengajar sebagai dosen sebanyak 6 SKS dengan kewajiban pembimbing minimal 2 mahasiswa pertahun.
Seperti apa prospek dokter di Badan Riset dan Inovasi Nasional?
Menurut Dr. Reza, seorang dokter ASN PNS di lingkungan BRIN tetap dapat mengambil subspesialis di universitas atau menjadi profesor by research. Dokter juga tetap dapat bekerja sebagai dokter klinis di manapun ia bekerja.
Terlebih lagi, dokter peneliti BRIN memiliki kelebihan dalam hal keilmuan, pengalaman pendanaan penelitian, hingga pendapatan royalti atas hak kekayaan intelektual terlisensi dan terhilirisasi oleh mitra sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Apakah hal-hal yang menarik yang dokter temui di BRIN?
“Banyak sekali (pengalaman), misalnya bertemu dan berkolaborasi dengan berbagai lapisan masyarakat yang mempunyai bermacam keahlian,” dr. Reza menjelaskan.
Mulai dari peneliti ahli pertanian yang mampu membuat bahan obat dari tumbuhan, peneliti biomedis yang bisa bekerjasama pada uji-uji praklinis sebelum dilakukan uji ke manusia, peneliti alat kesehatan, peneliti nano partikel, peneliti cetakan/scaffold logam metalurgi pembuat jaringan dari sel punca/stem cell, maupun berbagai peneliti ahli dari luar negeri.
Untuk dokter yang ingin mengikuti jejak Dr. Reza, apa tips dan triknya?
“Tipsnya adalah selalu mempunyai niat yang baik sesuai passion kita sebagai peneliti, dosen maupun klinisi untuk terus belajar sepanjang hayat mengikuti update perkembangan teknologi ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran,” pesan Dr. Reza.
Sementara triknya adalah menciptakan kolaborasi dengan berbagai pihak supaya mempermudah jejak pekerjaan kita sebagai Dokter yang memang harus terus meneliti tidak hanya sebagai dosen, tapi sebagai klinisi, “paham mengenai penentuan Level of Evidence yang terbaik bagi pasien kita” tambahnya lagi.
Untuk dokter sebagai peneliti, harus memiliki pendidikan minimal S3 untuk dapat bergabung sebagai peneliti ahli madya namun cukup memiliki gelar S2 untuk bergabung sebagai talenta misalnya melalui Degree By Research (DBR) yang rutin diberikan beasiswa bagi para Dokter peneliti terbaik bangsa Indonesia oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Nah, temen-temen dokter yang tertarik karir sebagai peneliti, ada yang tertarik menjadi dokter di Badan Riset dan Inovasi Nasional juga?