#maujadi PPDS di Jerman: Pendidikan Kedokteran ala Eropa

“Untuk proses pendidikan, tergantung dari prodinya, kita masing-masing punya buku Katalog. Dan apa yg diminta dalam buku katalog itu uda jelas tertulis. Misal untuk Dermatologie diminta untuk 2,5 tahun di Ambulan dan 2,5 tahun di Rumah sakit. Terus jenis Operasi, Penyakit, pemeriksaan yang kita harus tau uda tertulis, semua kompetensinya apa aja” jelas dr. Lola.
Sementara untuk lingkungannya sendiri, dr. Lola merasa di tingkat ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada bullying atau senioritas yang berlebihan. Senior justru sangat terbuka terhadap pertanyaan, karena membimbing junior membuat pekerjaan mereka semakin ringan.
Selain itu, adanya keberadaan Betriebsrat yang menjadi pusat pengaduan bila terjadi masalah dalam kerja, membuat suasana bekerja di Jerman terasa nyaman. “Bahkan kalo sampe hak kita sebagai pekerja diganggu, kita punya hak untuk menggugat ke Rechtsanwalt atau pengacara,” dr. Lola bercerita.
Dari segi kultur, di Jerman sangat tepat waktu. Diskusi antara residen dan konsulen pun lebih “luwes”, dan tidak berat sebelah seperti berdiskusi dengan sesama kolega. “Semua bebas mengemukakan pendapatnya sendiri” ujarnya.
Menurutnya secara pribadi, PPDS di Indonesia tidak kalah keren jika dibandingkan dengan PPDS di Jerman, “karena PPDS di Indonesia mentalnya dilatih banget, tahan banting, dan kerja sama antar kelompoknya bagus. Sementara di Jerman lebih individualis dan lebih sedikit bersosialisasi diluar pekerjaan”.
Untuk yang ingin mengikuti jejak dr. Lola, apa pesan yang ingin disampaikan?
“Yang penting, pikirin dulu baik-baik kalo mau ambil PPDS di Jerman, kalo uda mantep, dari kuliah ada baiknya uda belajar Bahasa Jerman. Jadi, setelah beres Internship, bisa langsung berangkat” pesan dr. Lola.
Selain itu, dukungan dari ortu dan teman-teman juga penting, mengingat kondisi yang serba jauh di Jerman. Terakhir, perbanyak sabar dalam prosesnya, karena perbedaan kultur yang ada, dan perbanyak berdoa supaya lancar.
“I hope you meet people with a different point of view. I hope you live a life you’re proud of. If you find that you’re not, I hope you have the strength to start all over again”
–The Curious Case of Benjamin Button.
Narasumber:
dr. Lola Fedora (@dokterdijerman)
Ärztin in der Weiterbildung zum Facharzt für Haut und Geschlechtkrankheiten